/   Kabar Seni

Kesenjangan upah antar gender masih menjadi masalah di Indonesia. Data UN Women dan organisasi buruh internasional, ILO, menunjukkan pendapatan perempuan 23 persen lebih rendah dari lelaki. Kesenjangan upah ini merupakan isu lama karena adanya anggapan perempuan kurang berkontribusi dalam pekerjaan di ranah publik. Selain itu, perempuan juga cenderung ditempatkan pada posisi yang bernilai rendah. Masalah ini menjadi tantangan bagi gerak perempuan untuk berkarya, mendapatkan pendapatan, dan posisi kepemimpinan setara. Tiga Anggota Koalisi Seni mengutarakan pendapatnya tentang isu penting tersebut dalam tulisan ini.

Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tapi juga sosio-ekonomi, terutama bagi perempuan sebagai kelompok rentan. Sejak awal pandemi, perempuan rentan mengalami berbagai permasalahan, seperti beban ganda, kehilangan mata pencaharian, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, hingga mengalami kekerasan berbasis gender. Data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tahun 2020 menunjukkan beban kerja perempuan berlipat ganda dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan lelaki. Sebanyak 57 persen perempuan juga mengalami peningkatan stres dan kecemasan dibandingkan 48 persen laki-laki.

Hal ini dirasakan oleh Linda Tagie, penggiat teater dari Kupang, NTT, yang harus mengurus rumah tangga dan anak sejalan dengan kegiatan seninya. “Supaya tetap produktif, saya mempunyai siasat membawa anak ke panggung untuk melakukan pentas bersama. Saya tidak peduli dengan omongan orang,” ujarnya.

“Ketika saya merasa panggung bagi perempuan pekerja seni yang sekaligus sebagai seorang ibu sudah terbatas, saya menciptakan panggung saya sendiri untuk mengapresiasi diri sendiri. Misalnya, menggagas komunitas Lowewini dan melatih anak-anak di sekitar saya untuk bermain teater,” paparnya.

Sementara itu, seniman kolase yang berbasis di Jakarta, Ika Vantiani, menuturkan ia jarang mendapat beban ganda, namun sebagai pekerja seni mandiri kerap tertimpa banyak beban.  Keadaan ini dialami banyak pekerja seni, yang dituntut bisa melakukan semuanya sendiri. Ika secara rutin melakukan beragam pekerjaan kesenian. Mulai dari berpameran, menjadi kurator, membuat produk kriya, mengadakan dan mengampu lokakarya, serta menjadi pembicara, juri dan konsultan komunikasi. Tak jarang, biaya awal harus ditanggungnya sendiri.

Pengalaman Ika diamini Linda. “Saya merogoh kocek untuk membiayai kegiatan-kegiatan kesenian yang saya selenggarakan. Beberapa yang berkolaborasi bersama teman-teman dari luar NTT, paling cuma dapat uang pulsa,” ucap Linda.

Segala keterbatasan itu tidak menghentikan Ika dan Linda terus berkarya. Namun, idealnya seniman perempuan mendapatkan penghargaan layak karena yang mereka lakukan adalah kerja-kerja kebudayaan. Mereka pun berhak mendapatkan perlindungan, baik dari segi kebijakan maupun secara finansial.

Ini sesuai dengan hak atas perlindungan hak sosial dan ekonomi, yang pertama kali dicetuskan dalam Pasal 22 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal tersebut mengatur setiap anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial dan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat serta pertumbuhan bebas pribadinya. Hak tersebut dipenuhi melalui usaha-usaha nasional maupun internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.

Antropolog Aryo Danusiri berpendapat, “Perempuan pekerja seni saat ini belum mendapatkan jaminan ekonomi dari kegiatan berkesenian, karena kesenian sendiri masih dalam ranah yang tidak menentu.”

Padahal, kata Aryo, peran perempuan dalam kerja kebudayaan sangatlah penting. Sebab, perempuan sebagai pihak yang lain (alterity), bisa memberikan kontribusi signifikan pada proses sosial politik yang dikuasai nilai-nilai patriarki.

Ekosistem seni tak kebal terhadap patriarki, seperti yang dihadapi Linda sehari-hari. Menurutnya, hanya sebagian perempuan memiliki privilese akses terhadap ruang-ruang kesenian. Selebihnya, perempuan harus menciptakan panggung sendiri, yang kadang juga dipandang sebelah mata. Ia menganggap alokasi dana untuk perempuan pekerja seni di seluruh Indonesia belum adil dan merata. Sokongan dana lebih terpusat di Jawa, dan kalaupun ada dana untuk wilayah Timur, pengelola proyeknya berasal dari Jawa.

Hal tersebut diakui Ika. “Saya memiliki privilese, sehingga tantangan saya sebagai pekerja seni hampir tidak pernah berhubungan dengan gender. Namun tentu saja masih banyak para pekerja seni perempuan yang memiliki tantangan. Misalnya karena kondisi sebagai istri dan ibu, mereka butuh dukungan untuk tetap bisa berkarya dan ruang untuk mempresentasikan karya. Mereka perlu juga kesempatan terlibat dalam proyek-proyek seni yang umumnya bahkan akses informasinya sulit didapat,” tutur Ika.

Jika akses itu terbuka dan mudah diraih pekerja seni perempuan, peran kerja mereka dalam kerja-kerja kebudayaan akan lebih beragam. Ika menilai salah satu dampaknya adalah meningkatnya kepemilikan perempuan terhadap bentuk usaha terkait jasa kerja kebudayaannya. Ini sebagian besar masih didominasi lelaki, namun perempuan bisa meraihnya pula jika mendapat akses dan dukungan yang tepat.

Sejauh ini, ada beberapa inisiatif seni untuk pekerja seni perempuan seperti Hibah Cipta Media Ekspresi, Sekolah Pemikiran Perempuan, Peretas, serta sejumlah kesempatan residensi dan proyek seni yang memotivasi perempuan dan orang-orang non-biner untuk mendaftar. Tentu saja masih dibutuhkan keterlibatan pemerintah dan berbagai pihak untuk mendorong lebih banyak inisiatif serupa.

Menurut Aryo Danusiri, tantangan yang dihadapi dalam proses advokasi ini ialah cara membingkai kebijakan pemerintah ke arah yang lebih berpihak pada perempuan. Dengan pembingkaian tepat, nilai-nilai yang berpihak pada perempuan akan muncul. Ia menambahkan, keberpihakan pada perempuan adalah keberpihakan pada subyek minoritas lainnya.

Ika dan Linda sepakat perlindungan sosial dan ekonomi bagi perempuan pekerja seni dapat diawali dengan menyadari adanya kesenjangan bagi pekerja seni perempuan dan keterbukaan untuk membicarakan permasalahan. Sehingga, bentuk-bentuk dukungan yang dapat diciptakan bersama untuk perempuan bisa teridentifikasi. Mereka juga berharap jaminan sosial, ekonomi dan budaya dilihat sebagai bagian yang penting, sehingga upaya-upaya pemerintah dan lembaga kebudayaan dapat berdampak lebih baik lagi. (Trianingsih)

Ilustrasi: Hyejin Kang via Canva

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.