/   Kabar Seni

Perempuan seniman dan kurator seni rupa ternyata masih minoritas dalam tiga direktori seni, yakni IVAA, Indoartnow, dan BDGConnex. Harits Rasyid Paramasatya, Peneliti Kebijakan Koalisi Seni; Lisistrata Lusiandana, Direktur IVAA, dan Oming Putri, Koordinator Jejaring Koalisi Seni membahasnya dalam Instagram Live Ruang Usik-Usik pada 27 Mei 2021.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Koalisi Seni (@koalisiseni)

Berikut transkrip yang disusun oleh Margaret Megan:

Timestamp Transkrip
00:00-03.51 Oming

Halo selamat pagi teman-teman. Hari ini kita bakal IG Live soal Mencari Perempuan Perupa dalam Direktori. Kita akan ngobrol sama 2 orang narasumber.

Yang pertama ada Harits Paramasatya atau yang biasa dikenal dengan Ais. Ais adalah Peneliti Kebijakan di Koalisi Seni dan dia juga mendirikan Queer Indonesia Archive QIA sama temen-temennya. Ia aktivis gender juga. Yang satu lagi kita akan ngobrol sama Lisistrata Lusiandana atau yang temen-temen panggil dengan nama Lisis. Lisis adalah Direktur dari IVAA Indonesia Visual Art Archive dari 2018. Tapi sebenernya dia udah join IVAA dari tahun 2016 sebagai Kepala Program.

Mungkin aku mau undang dulu Lisis sama Ais sebelum aku ceritain kenapa kita ngomongin ini. Kita hai hai dulu, terima kasih udah gabung. Gimana udah sarapan belum?

03.51-03.53 Lisistrata

Udahlah. Udah mandi yang jelas.

03:53-6:14 Oming

Udah mandi yang jelas. Oke. bentar aku jelasin dulu ya ke temen-temen yang masih belum ngeh ini kenapa Koalisi Seni ngangkat soal ini. Jadi temen-temen Koalisi Seni tahun ini memfokuskan dirinya untuk advokasi di soal gender jadi judulnya adalah pengarusutamaan gender di bidang kebijakan seni. Jadi ini inisiatif dari anggota Koalisi Seni, jadi kami sekarang udah ada Kelompok Kerja Gender namanya. Isinya temen-temen anggota yang concern dan mau kerja si advokasi ini. Beberapanya ada Mbak Alia Swastika, kemudian ada Mbak Ika Vantiani, Dian dari Indeks, Tria dari Lintas Batas, Mbak Naomi Srikandi, Mas Michael, Bu Dominica, Irma dari Lombok, Mbak Kartika Jahja. Jadi banyak ada beberapa.

Kali ini hari ini kita Koalisi Seni ngeluncurin tulisan tentang Perempuan Perupa Dalam Direktori. Ais nulis soal itu. Kita bakal obrol itu hari ini teman-teman. Kita langsung aja.

Sembari milih-milih fiter aku mau tanya langsung ke Ais. Ceritain dong tulisan kamu nih tentang apa sih sebenernya? Dan kenapa milih topik ini.

6:28-8:02 Harits

Jadi kan sebenernya kumpulan isu buat kebutuhan Pokja Gender kan ada isu yang bisa diangkat. Kan waktu itu nyusun isu untuk Pokja Gender kan. Terus kita lagi nyari apa aja sih yang bisa memperkuat isu ini. Data-data apa aja. Gua inget ada ngebahas kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkup seni. Terus kita ngebahas juga perempuan di Dewan Kesenian yang waktu itu sama Afi juga ditulis.

Karena latar belakang pendidikan aku seni rupa, aku jadi tertarik ngeliat 2 hal. Satu tuh keterlibatan perempuan di acara-acara seni rupa besar kayak Biennale atau art event yang lumayan gede sama direktori salah satunya. Terus jadinya aku nyorotin itu. Aku melihat di website-website mereka nama-nama perempuan yang muncul siapa aja dan berapa banyak dibanding sama laki-laki.

8:02-8:06 Oming

Terus habis dari situ kemudian gimana nemuinnya?

8:06-10:25 Harits

Dan kalau nemuinnya ya di websitenya mereka. Misalnya kemaren selain Direktori aku juga ngeliatin Biennale juga. Kan Biennale tiap tahun bikin website dan ada daftar seniman yang masuk siapa aja. Kuratornya siapa aja. Directornya siapa aja. Biennale Jakarta juga. Sama satu lagi kalau nggak salah aku ngeliat Artjog. Nah tapi kalau di direktori itu menurut aku jauh lebih menarik karena lebih besar datanya dan waktunya lebih panjang.

Kenapa aku milih IVAA, Indoartnow, sama BDGConnex buat artikel aku soalnya kalau Indoartnow sama IVAA, dari jaman aku kuliah suka banget disebutin sama dosen dan sama mahasiswa juga. Kalau lagi ngobrol-ngobrol soal siapa seniman baru kita kadang-kadang suka ngomong oh dia udah masuk sini. Dia udah masuk IVAA. Oh dia udah masuk Indoartnow. Jadi aku ngeliat dua direktori itu udah lumayan jadi acuan buat anak-anak seni rupa juga. Seenggaknya di lingkungan aku dulu di Bandung. Terus kalau BDGConnex, itu juga karena lagi ngobrol-ngobrol terus aku jadi tau oh ada nih inisiatif yang lumayan baru untuk direktori yaitu BDGConnex jadi aku ibaratnya pengen bandingin yang udah ada dari lama kayak IVAA kan udah dari tahun 90-an kalau nggak salah. Terus Indoartnow dari tahun 2010-an sama BDGConnex yang dari 2015-an. Itu kayak gimana sih perbedaannya.

10:25-10:39 Oming

Bisa lu ceritain juga sih temuannya apa dari lu kepo-kepo direktori 3 ini. Secara garis besar tuh menariknya apa sih yang lu temuin.

10:39-10:59 Harits

Mungkin sebelumnya aku jelasin secara keponya dulu kali ya. Jadi aku kepoin itu aku ngitung jumlah nama individu yang disebut. Jadi kalau misalnya katakan yang disebut nih nama kolektif katakan HON House of Natural Fiber nah itu aku nggak itung karena kolektif gitu.

10:59-11.01 Oming

Oh jadi individu yang dihitung ya.

11:01-11.20 Harits

Untuk mempermudah gitu. Jadi aku ambilnya nama individu. Kalau misalnya ada fotonya ya udah langsung ketauan. Tapi lumayan sering aku mesti akhirnya googling gitu. Kayak nama seniman terus karya atau nama seniman profil gitu.

11:20-11:21 Oming

Untuk tau gendernya ini ya.

11:21-11:34 Harits

Ya. Tau gendernya. Jadi apa lagi kalau namanya rada ambigu gitu. Kayak Muhammad Siti kadang-kadang.

11:34-11:36 Lisistrata

Oh jadi dari namanya ya Ais.

11:36-13:10 Harits

Iya aku cari dari namanya aku googling aku pastiin dia di profilnya dia nulis laki-laki atau perempuan. Atau kadang-kadang kalau di IVAA yang sangat membantu adalah dia terlibat di pameran apa aja terus kalau di klik ada terlibat di pameran seniman katakan Pameran Pematung Perempuan. Nah itu kan oke berarti secara implisit di situ dia seniman perempuan. Kalau namanya bener bener explicitly gendered kayak Anisa Zahrawati kan kayak that’s explicitly kalau itu nama perempuan. Atau Agus Sugeng Muhammad.

Tapi emang keterbatasannya adalah kalau misalnya ternyata seniman ini di hidupnya trans atau dia coming out sebagai trans terus perpindahan itu tidak tercatat di nama legalnya itu akan miss. Jadi di situ mungkin ada kekurangan dan penyisiran ini tuh dari sekian banyak nama yang aku sisir itu di IVAA aku menyisir 2561 nama individu dan dari..

13:10-13:14 Oming

Dari tahun 90-an ya itu Ais?

13:14-14:49 Harits

Itu dicatatnya sama IVAA dari tahun 90-an tapi kalau nama senimannya sih kayaknya jauh dari sebelum itu. karena ada S. Sudjojono atau ada kemarin tuh ada siapa ya nama seniman bule yang aku juga oh dia pernah pameran di sini siapa ya Bone bukan. Bone tuh ada di IVAA bukan kalau nggak salah? Ya pokoknya jauh. Terus dari 2500-an nama itu. Yang perempuan tuh 344. Yang adalah kalau dipersentasiin itu 13,4%. Indoartnow ada 2700 nama individu seniman yang tercantum. Yang nama perempuan itu 555 orang, 20,6%. Kebetulan kalau di Indoartnow itu juga ada kurator yang dicatet dan dari 233 individu kurator itu 72nya perempuan 30%. Terakhir dari 217 individu yang di BDGConnex tercatat tuh nama senimannya. Jauh lebih sedikit ya kita lihat di sini kayak cuman 217 karena mungkin baru. Tapi 94 orangnya perempuan. 43%. Emang tiga-tiganya tuh jumlah laki-laki lebih banyak tapi itu aku ngeliatnya kok yang BDGConnex itu hampir 45% perempuannya.

14:49-15:18 Oming

Jadi IVAA 13 sekian persen ya tadi perempuannya. Perempuan individu. Perempuan perupa. Gimana sis eh entar aku ke Lisis dulu nih. Sis sebagai Direktur IVAA kamu gimana melihat data yang ditemuin sama Ais nih soal jumlah perempuan perupa yang dicatet sama IVAA.

15:18-23:14 Lisistrata

Lumayan ini jadi masukan. Lumayan terpukul ya kita. Ngobrol-ngobrol sama Ais itu kan ternyata online archive kita 13% perempuannya itu lumayan jadi reminder ya untuk kita IVAA. Walaupun memang sejak tahun 2018 itu memang kita, mungkin aku sedikit kasih cerita bagaimana kita membangun pengarsipan kita yang sejak tahun 95. Walaupun di tahun 95 itu belum fokus di pengarsipan. Belum fokus di pembangunan dokumentasi seni rupa tapi memang sebagai Yayasan Seni Rupa itu wataknya ya EO ya event organizing dalam artian acara-acara kultural. Residensi dan pertukaran kebudayaan. Itu kan jadi host sekaligus jadi organizer. Lalu fasilitasi pengetahuan, riset. Acara-acara publik, pameran tentu saja. 95 itu masih Orde Baru ya rasa-rasanya memang contemporary art lagi anget-angetnya gitu.

Kemudian pendiri tuh berinisiatif untuk wah ini dinamika seni kontemporer yang anget dan berdampingan dengan gerakan demokrasi nih sayang banget kalau nggak didokumentasikan. Awalnya sesederhana itu dan seinstingtif itu. Memang infrastruktur seni kalau tanpa pengarsipan kayaknya memang ada yang bolong. Ada yang kurang. Berangkat dari kepercayaan bahwa ya praktik seni pasti ada kontribusinya lah pengetahuan entah itu dimananya langsung nggak langsung itu dengan kepercayaan kepercayaan itu terus dengan cara-cara yang sangat random. Random dalam artian ya memang nggak ada arsiparis. nggak ada yang ahli dan dokumentasi semuanya berangkat dari semangat dan lakukan dulu aja karena dari event internal aja sendiri udah melibatkan banyak seniman yang kalau semakin nggak diorganize data itu akan semakin numpuk dan semakin jadi PR dan kedepannya akan semakin jadi kesulitan dan kita cuman mengundur sama menunggu pekerjaan. Jadi mulai aja dari yang kita bisa. Dari pengarsipan yang metode apa pun. Metodologinya juga nggak diitung dulu. Learning by doing. Jalan dulu di tengah jalan kemudian ditata di sana sini. Dirapikan di sana sini. Muncul pertanyaan sendiri. Kita akan archiving dari mana nih dari berdasarkan nama atau berdasarkan tema. Itu ada dinamikanya tercatat dan tertulis memang perjalanannya panjang.

Lalu kayaknya masuk 2011 itu masuk digital archiving dan prosesnya juga panjang untuk membangun database online yang bisa diakses sampai sekarang. Dari perjalanan panjang dan sifatnya yang evolving. Di touch up di sana sini sambil jalan sambil dilakukan tanpa mungkin perjalanannya bisa dikatakan berapa persennya memang instingtif. Terus metode pencarian datanya baru dipertanyakan setelah dijalankan. Di 2017, karena aku terlibat di 2016 17 sampai sekarang yang paling aku bisa ceritakan banget karena aku terlibat di 2016 2017, itu memang kita mempertanyakan bagaimana metodologi pencarian data kita. Based on apa aja nih? Memang selama ini kalau misalnya salah satu kesimpulan dari tulisannya Ais itu mengatakan bahwa berarti pengarsipan adalah cerminan dari kondisi yang real itu juga nggak bisa kita salahkan. Walaupun itu wah kalau archiving nggak bisa intervensi data dan produksi pengetahuan ya sedih juga. Tapi bahwa temuan dari Ais bisa kita katakan berarti online archiving yang dilakukan oleh IVAA hanya mengikuti dinamika yang ada atau sejalan seturut dengan dinamika yang ada. Memang metodenya kalau dilihat ya berdasarkan event-event besar. Lalu event-event kalaupun memang berbasis event. Kebanyakan berbasis event. Jadi seniman-seniman yang terlibat dalam event itu masuk ke direktori IVAA yang kemudian misalnya seniman pameran tunggal itu juga ada beberapa kategori yang kalau dibuka buka lagi ada yang sifatnya retrospektif jadi pameran-pameran yang besar di beberapa galeri-galeri yang besar.

Walaupun di tahun 2017 itu ada upaya dalam melakukan perluasan subjek seni. Jadi kalau misalnya ngomongin seniman, yuk coba kita perluas subjek seni kayaknya nggak cuman yang ada di galeri dan itu juga kita upayakan. Sama barangkali long way to go kalau misalnya mengupgrade atau membuat database online itu lebih progresif karena untuk nyusun entity relation database pada saat itu yang sampai sekarang kita telusuri itu juga sangat rumit. Itu kayaknya memang long way to go untuk membuat online directory ini lebih progresif. Tapi yang diupayakan adalah aktivasi-aktivasinya. Bagaimana membunyikan data ini. Makanya kemudian ada buku, ada penelitian. Ada riset-riset yang highlighting peran perempuan dalam seni karena yang coba kita highlight bukan keperempuanannya kan. Jadi mungkin lebih pada memunculkan peran perempuan yang sudah ada. Jadi bukan memunculkan nama-nama perempuan tapi memunculkan peran yang memang sudah ada cuman nggak tercatat aja. Walaupun kalau kita telusuri kenapa peran perempuan tidak banyak tercatat. Kenapa sejarah kita sangat patriarkis dan maskulin? Kenapa sejarah kita sangat heroik patriotik itu kan memang adalah excess dari sistem patriarkis yang sedemikian hegemonik. Kayaknya itu awalnya. Ini masih PR panjang. Ais ya.

23:14-24:05 Oming

Sis berarti kalau misalnya jadi refleksi IVAA ya. Kamu kan tadi cerita kalau di tahun 2017 udah mulai menyesuaikan metodologi ada penyesuaian metodologi pencatatan. Aku lebih penasaran ini Sis, sejauh ini kemarin aku denger ceritanya dari Ais. Katanya IVAA melihat bahwa banyak nama perempuan yang justru muncul di korespondensi email alih-alih di catalog dan lain-lain. Itu boleh diceritain lebih dalem ga?

24:05-24:11 Harits

Bukan email maksudnya. Korespondensi surat menyurat begitu.

24:11-24:38 Oming

Oh iya itu boleh diceritain lebih nggak Sis? Aku penasarannya berarti peran-peran mereka memang bukan di depan ya tapi itu maksudnya menunjukan bahwa peran perempuan emang kebanyakan di belakang atau mereka tuh sebenernya seniman tapi nggak diikutin atau gimana? Kenapa munculnya di situ doang.

24:38-34:43 Lisistrata

Coba Ais aku lupa ya aku ngomong kayak gitu.

24:43-25:22 Harits

Itu tuh waktu obrolan kita aku sempet nanya, Mbak Lisis lagi cerita soal usaha untuk nyari lebih banyak nama perempuan untuk diarsipkan. Terus di situ yang muncul iya sebenernya ada satu tokoh perempuan, aku lupa namanya siapa. Tapi dia itu istrinya atau saudarinya seniman laki-laki terkenal tapi dia juga berkarya. Tapi dia itu karyanya nggak pernah dipamerin tapi dia tuh selalu disebut-sebut dikorespondensi pribadi. Karya mereka tuh surat menyurat.

25:22-30:01 Lisistrata

Oh di cerita itu. Ya ingat. Waktu itu gini kalau aku nggak salah ingat. Kayaknya konteksnya gini. Sepenting apa pencarian atau sesulit apa pencarian data perempuan. Memang yang aku ceritakan adalah salah satu pengalaman ketika kita melakukan pencarian. Tahun lalu aku terlibat di penulisan pematung perempuan sama Mas Hendro yang untuk mengulik satu nama aja perjalanannya panjang dan kayak detektif. Seru sih seru. Tapi memang di situ menunjukan bahwa pencarian data tentang seniman perempuan yang karyanya bisa bersaing. Karyanya penting, perjalanannya penting dan berhubungan lumayan erat dengan tokoh ternama di Indonesia, itu pun tertulisnnya nggak banyak. Waktu itu aku menyebutkan pengalamanku waktu sempet mencari data tentang Trijoto Abdullah. Jadi kami menemukannya tuh dari buku-buku yang membahas Basoeki Abdullah. Karena memang banyak Basoeki Abdullah dituliskan sebagai seniman yang juga dekat dengan presiden pertama kita dan lumayan banyak referensi tertulis tentang beliau. Kemudian Trijoto Abdullah ini adiknya yang juga tidak kalah penting kiprahnya. Tapi muncul di teks itu dikit banget dan itu pun kita harus cari jalan lewat buku-bukunya Bapak Basoeki Abdullah.

Jadi itu salah satu tantangan untuk memunculkan nama seniman perempuan, bukan nama seniman perempuan tapi memunculkan peran perempuan yang udah ada. Kita yakin dalam pembentukan republik ini atau sebelumnya, peran perempuan kita yakin penting. Cuman kenapa belum banyak dimunculkan barangkali karena secara mainstream sejarah kita disusun oleh narasi-narasi yang patriotik yang maskulin. Dari perang ke perang. Dari gerakan ke gerakan. Sementara penulisan sejarah dari hal-hal  yang sifatnya keseharian tapi material mungkin belum mainstream di penulisan. Jadi memang PR besar. Pekerjaan rumah banget lah. Itu sih konteksnya waktu itu aku inget ngobrol sama Ais soal itu. Jadi memang lebih banyak ditemukan di teks-teks kakaknya yang laki-laki. Harus lewat jalan melingkar yang seperti itu. Itu baru satu nama. Belum lagi kalau kita mencari nama-nama yang lain. Dan memang sebagian besar secara kuantitas kita belum pernah ngitung kalau dari pameran ke pameran dari tahun berapa sampai berapa.

Mungkin Kementerian harus melakukan itu. Kalau secara cuan biar Kementerian aja. Biar kita melakukan yang kecil-kecil aja. Tapi lebih menukik dan tajam. Tapi kalau yang besar, masif dan butuh metode yang meluas mungkin bisa lebih dilakukan sama Pemerintah. Data-data kuantitatif kalau bisa. Sampaikan ke Pak Menteri kalau kamu ketemu.

30:01-30-17 Oming

Ini udah ada yang nanya. Dari Kak Bunga buat Ais. Pas nemu data gender yang timpang di 3 direktori yang terlintas di benakmu apa?

30:17-31:23 Harits

Sebenernya karena aku milihnya berdasarkan lama periode pencatatan, karena setelah ngobrol sama IVAA kan mereka mencatatnya jauh sebelumnya. Kalau Indoartnow kan 2010 2009 sampai sekarang dan BDGConnex 2015 sampai sekarang. Sebenernya yang muncul di aku adalah berarti sekarang lebih banyak perempuan yang jadi seniman. Kalau dulu lebih sedikit. Itu yang pertama kali muncul di pikiran aku. Tapi setelah ngobrol sama Mbak Lilis menemukan kalau memang contoh tadi saudarinya Basoeki Abdullah itu yang sebenarnya perannya banyak tapi hampir nggak ada catatannya, itu jadi terpikir lagi. Mungkin banyak banyak aja  jaman dulu tapi peran mereka nggak tercatat secara formal dan jadi nggak masuk ke radanya penyusun direktori.

31:23-31:30 Oming

Karena perannya juga dianggap belum pantes untuk masuk kali ya jadinya nggak tercatet ya.

31:30-33:35 Harits

Kurang krusial atau gimanalah. Cuma ya jadi menarik juga karena kalau yang si BDGConnex ini bener bener dari pendaftaran senimannya pribadi. Jadi mungkin kalau misalnya disuruh daftar sendiri sebenernya banyak perempuan yang dia seniman dan merasa oke gua seniman dan ingin mendaftarkan diri gua sebagai seniman. Cuman kalau misalnya mereka nungguin masuk ke radanya direktori mungkin itu akan sulit terjadi. Makanya akhirnya kalau bisa mendaftarkan diri sendiri itu salah satu cara yang cukup oke buat menyeimbangkan jumlah. Tapi di sini aku juga notice kalau IVAA membuka kesempatan untuk seniman untuk datang dan mendaftarkan dirinya. Ada faktor sejarah juga ada faktor daftar pribadi juga. Dua-duanya mempengaruhi.

33:35-35:35 Oming

Kalau menurut kamu Is ini kan sebenernya berlayer ya mulai dari perempuan, berlayernya tuh gini kalau menurut gue, siapa sih yang punya hak nentuin seniman atau bukan? Atau perannya tuh ABC atau BCD. Layernya juga kayak apakah kita nggak boleh sebagai perempuan menentukan diri, bukan hanya sebagai perempuan tapi yang lain terlepas gender, menentukan diri sendiri sebagai seniman tanpa harus menunggu justifikasi dari orang lain.

Contohnya BDGConnex bisa aja. Aku bisa aja tentuin diri sendiri sebagai seniman. Meskipun aku nggak pernah manggung sebagai musisi jarang banget. Ngeluarin album cuma sekali habis itu bandnya bubar. Tapi aku pernah berkarya, kadang orang nganggepnya lu udah bukan musisi Ming kan lu udah nggak berkarya lagi. Tapi kan gua pernah. Kadang layernya begitu. Menurut lu melihat layer layer dari hal seperti ini, kadang perempuan suka merasa kurang percaya diri. Kita mau daftarin diri tapi apa iya aku seniman perupa? Padahal sebenernya gapapa aja daftarin diri sendiri di IVAA kan udah buka. Kalau lu menurut lu melihat kondisi begini gimana Is?

35:35-37:16 Harits

Ini sebenernya pertanyaan dari dulu banget loh. Emang selalu ada. Siapa sih yang boleh ngaku gua seniman? Kalau misalnya menurutku kalau kamu pernah pameran kamu pernah berkarya tapi abis itu kamu berhenti dan udah kerja ke hal lain ya kamu masih bisa dibilang seniman sih sebenernya tapi sekarang lagi ngerjain hal yang lain kayak it’s okay. Dan kalau diliat dari pendataan IVAA dan Indoartnow mereka banyak orang-orang yang berkarya selama berapa lama lalu mereka alih profesi tapi nama mereka masih dicatet. nggak tiba-tiba wah ni orang udah 5 tahun nggak pameran kita hapus namanya. Kan nggak begitu. Masih dianggep. Terus kalau misalnya soal pede-pedean ya sebenernya yang penting pede aja sih. Maksudku kadang-kadang kita, ini yang aku liat aja, kadang-kadang ada orang yang terlalu wah kan status seniman. Sampai wah dia tuh kurang seniman soalnya dia nggak gini gini. Jadi ada kriteria yang sangat arbitrer dan sebenernya juga nggak perlu. Dia tuh bukan seniman karena begini. Sebenernya kalau lu merasa diri lu seniman dan pingin merepresentasikan diri sebagai seniman ke masyarakat ya gapapa daftar aja.

37:16-39:09 Oming

Bener bener. Jadi sebenernya cuek aja. Lisis udah balik. Sis sembari nunggu kamu join tadi aku sempet ngobrol dikit sama Ais soal standard seseorang disebut seniman gimana karena soal pencatatan misal direktori pencatatan seniman perempuan kadang dari perempuannya ngerasa oh aku seniman berkarya cuman sekali gimana pantes nggak disebut seniman dan masuk pencatatan. Jadi sering kali ada gitunya juga dari temen-temen. Atau ngerasa dulu sebelum menikah jadi seniman berkarya berpameran tapi setelah menikah aku udah nggak bisa lagi berpameran. Apa aku masih pantas disebut sebagai seniman? Dari standar gitu. Tadi sempet ngobrolin itu. Kalau menurut kamu bagaimana ngeliat situasi begini.

39:09-42:17 Lisistrata

Kalau yang kita lakukan justru memperluas subjek seniman dan kita buka seluas-luasnya karena sebetulnya yang terjadi adalah keterbatasan kita untuk mendata dan update data. Kalau yang kita lakukan sebenernya standarnya justru kita perluas. Siapa pun yang pernah berkarya karena kan 2017 18 itu kita buka pengarsipan yang sifatnya lebih by request. Jadi kita bikin form google memang kita belum bikin sistem yang lebih canggih tapi ada Google Form yang kita sebarluaskan dan justru teman seniman yang mengisi. Untuk memasukan sendiri. Entry request IVAA untuk datanya di entry oleh IVAA.

Memang bener yang diceritakan sama Oming bahwa kondisi yang terjadi di beberapa seniman perempuan adalah ada beban domestik ketika sudah menikah dan punya anak jadi aktivitas berkesenian galeri mungkin berkurang. Tapi mungkin sebenernya bisa kita maknai juga bahwa yang dilakukan di keseharian mungkin praktik seni juga bisa kita perluas di situ. Jadi oke oke aja. Kadang memang ada seniman yang baper karena datanya belum masuk IVAA terus ngomong ke kita. Untung kenal jadi langsung ngomong. Gimana sih aku bukan seniman ya. Aku belum masuk IVAA.

Ya itu memang keterbatasan kita aja untuk entry update data. Jadi human error human terbatas. Kerjaannya macem-macem ada yang entry data archiving dan data IVAA yang masuk online bisa dikatakan 25% dari keseluruhan data yang kita punya. Jadi online archive itu baru sebagian. Selebihnya melalui proses data request ke archivistnya itu yang kita buka di email. Di website dan bisa diakses melalui korespondensi email.

42:17-43:03 Harits

Sepuluh ribuan nama ya aslinya kalau yang di online. Soalnya kalau misalnya yang di online kan ada sekitar 2500 nama terus itu baru 25% dari data lengkapnya berarti banyak banget yang 4 kali lipatnya sebenernya semuanya.

43:03-46:56 Lisistrata

Mungkin sekitaran itu dan itu bisa diakses berdasarkan archive request data request atau on site. Memang beberapa koleksi itu kita sengaja biarkan outside. Jadi hanya bisa diakses di sini karena ada yang dilihat dari gimana kita memperoleh data ada banyak caranya. Ada yang kita record creation karena kita juga produksi record sendiri atau rekaman sendiri. Dokumentasi langsung ke pameran, dokumentasi langsung ke seniman ada juga yang donasi seniman. Jadi seniman atau keluarga seniman yang sudah meninggal pernah kerja sama atau memang sudah kenal dengan IVAA punya tradisi untuk menitipkan arsip-arsipnya ke IVAA sekaligus menjadi backup. Contohnya Pak Mul FX Harsono, dua seniman yang menjadi langganan karena beliau lumayan punya sadar dokumentasi sejak lama dan punya hobi motret dan mengumpulkan. Jadi kalau misalnya kerja sama IVAA mereka punya backup digital. Kayak Pak Mul kemarin maen kesini. Kemaren aku buka buka file yang ini, ini juga udah digitalisasi. Lalu Pak Mul waktu pulang ke Tulungagung malah aku juga lagi persiapan pameran yang mau pameran retrospektif kayaknya Pak Mul terus data yang kemaren kamu tunjukan itu masih ada nggak Mbak soalnya ternyata udah nggak ada di rumah. Nah itu malah bisa jadi backup dan itu kan jadi relasi yang saling membantu membackup. Beberapa data sengaja nggak kita online-kan karena ada sensitivitas dari data itu. Urusannya lumayan ada Kemendagri kadang ngecek. Ada yang suka kepo-kepo. Ada banyak hal yang kita antisipasi. Apa lagi belakangan ada yang kepo soal yang lain. Koleksi perpustakaan juga kita upayakan kayak gitu. Ada yang koleksi cuman bisa diakses beberapa orang, ada yang koleksi ya oke ini bisa diakses semuanya misalnya katalog pameran dan walaupun seni budaya relatif masih punya banyak cara memunculkan isu yang dianggap sensitif sekalipun karena lewat seni budaya.

46:56-47:16 Harits

Aku pengen nanya sebenernya ke Mbak Lisis kalau misalnya seniman-seniman yang masuk ke lingkup seni rupa tapi karyanya bukan objek kayak performance art atau sound art itu di IVAA sistemnya gimana sih pencatatannya.

47:16-48:43 Lisistrata

Untuk seniman yang karyanya nggak 2 dimensi tapi performance art masuk atau engga pertanyaannya. Iya. Jadi selain perluasan seni juga perluasan medium. Medium itu salah satu yang kita akomodasikan. Kita menghadapi itu sejak lama. Yang dijadikan medium sama seniman itu tidak hanya hal-hal yang material tapi yang sifatnya sosial bahkan live sebagai form itu adalah bagian dari mainan di praktik seni kontemporer itu juga kita sadari betul jadi memang kalau ngomongin contemporary art aja archivingnya juga luar biasa meliputi banyak hal termasuk medium medium yang mungkin dianggap nggak lazim. Atau sebenernya lazim-lazim aja. Life as art juga sudah mulai banyak di highlight. Life as art. Life as form. Relasi sosial juga sebagai form of art. Sudah mulai banyak dipraktikkan.

48:43-48:53 Oming

Jadi memang diperluas ya. Berarti kalau misalnya aku bikin performance art bisa mencatatkan diri ke IVAA berarti ya.

48:53-49:03 Lisistrata

Kalau Oming nggak usah bikin performance art pun udah langsung kumasukin.

49:03-50:10 Oming

Nah ini menarik nih. Kalau kita ngomongin jaman sekarang kan. Bentuk seninya kan udah berubah ya maksudnya di jaman pandemi ini apakah Institusi Seni Rupa atau Institusi Seni itu kayak karya karya di Tiktok itu masuk seni nggak kan atau karya ruang pamer feed Instagram itu termasuk pameran ga. Kadang kita perlu mempertanyakan lagi kalau kita ngomongin soal pameran bisa jadi feed Instagram udah cukup jadi ruang pamer di jaman online. Jadi temen-temen yang rajin naro karya di IG meski nggak ikut pameran offline bisa masukin di direktori. Ini balik lagi soal siapa yang bisa disebut seniman atau engga.

50:10-51:35 Lisistrata

Itu kepusingan di awal pandemi dulu. Awal pandemi banyak yang shock. Tapi beberapa saat kemudian banyak. Terjadi ledakan karya di ruang virtual. Itu kita mau mendokumentasi yang mana dari sekian banyak. Karena IVAA yang dulu dokumentasinya datang ke acara langsung sekarang kita nonton buka laptop handphone udah ada pameran virtual. Ada acara eksklusif. Yang mana yang mau didokumentasikan. Sejak saat itu dokumentasi kita lebih pasif dalam artian lebih banyak email email. nggak datang ke eventnya. Lebih banyak nyebar form bagi yang berminat masuk direktori IVAA silakan ngisi form ini baru kita follow up karena kita nggak mampu ngikuti ledakan praktik yang ada di ruang virtual. Kita akui itu sebagai ekspresi seni.

51:35-52:12 Oming

IVAA dalam data basenya ada kategori seniman berdasarkan gender ga? Menarik kalau ada datanya Sis. Bisa disearch misalnya seniman perempuan atau seniman non biner gitu. Bisa nggak sih?

52:12-52:45 Harits

Pengalamanku sih kemaren nggak bisa. Soalnya aku cari satu-satu tapi mungkin aku karena liatnya yang di online doang. Cuman ada namanya. Kalau di klik ada data pendukung misalnya foto karya atau dia pernah pameran dimana aja gitu.

52:45-53.15 Oming

Jadi belum ada gendernya. Tambahin Sis.

53:15-53:28 Harits

Sebenernya kalau Mbak Lisis aku mau aja sih ngasih ininya spreadsheet yang kemaren aku pake buat ngitungin. Sebenernya ya gapapa sih.

53:28-53:37 Lisistrata

Ini Ais yang udah melakukan identifikasi gender nih. Ada gender non-binary nggak?

53:37-54:14 Harits

Nah itu aku nggak bisa ngecek satu satu apakah mereka non-binary karena nggak keliatan di situ, cuman bisa assuming dari nama mereka. Salah satu cara yang aku kepikiran adalah kayak mereka dateng ke arsipnya terus mau betulin. Aku bukan laki-laki, aku bukan perempuan, aku non-binary.

54:14-54:24 Oming

Jadi pasif juga ya nunggu dari mereka. Nunggu mereka request ya.

54:24-54:42 Harits

Mungkin seniman binary juga belum merasa nyaman dan aman untuk publicly presenting themselves as non-binary. Kadang-kadang ada faktor itu juga.

54:42-55:07 Oming

Aku jadi mau tanya ke Ais soal Queer Archives itu. Itu gimana sih bisa diceritain lebih dalem soal Queer Archives dan pencatatannya apa aja yang dicatat.

55:07-56:27 Harits

Kalau aku biasanya nyatet dokumen atau objek yang dihasilin sama komunitas kayak majalah atau mereka dokumentasi acara berbentuk foto. Jadi saat ini bentuk arsipnya arsip digital karena kita scan terus kita simpan. Sementara barang aslinya kita balikin lagi ke pemilik. Sampai saat ini belum ada direktori nama karena kalau ngeliat subject matternya itu sesuatu yang sensitif dan kayaknya lebih banyak moderatnya kalau bikin daftar nama orang queer di Indonesia. Itu beda statusnya padahal seniman. Jadi kita berfokus di mendokumentasikan dokumen sama foto-foto terutama yang dibikin dan dihasilkan sama komunitasnya sendiri. Kita juga ngumpulin Tempo, Kompas, artikel tentang queer itu juga kita bakal dokumentasiin itu.

56:27-56:34 Oming

Jadi kalau direktori nama agak susah ya.

56:34-56:39 Harits

Karena konteksnya lumayan beda.

56:39-57:05 Oming

Kamu ngebacanya kalau konteksnya kesenian tantangan untuk mencatat temen-temen yang non-binary tuh apa Is tantangan terbesarnya? Kalau di konteksnya kesenian.

57:05-58:04 Harits

Menurutku tantangan terbesarnya adalah belum tentu orangnya ingin tercatat sebagai non-binary apa lagi di direktori umum. Mungkin di lingkungan pertemanan mereka udah cukup nyaman sebagai non-binary tapi konteksnya beda antara lingkungan pertemanan dan dicatat di sebuah direktori yang terbuka untuk umum dan formal sebagai non-biner. Itu konteksnya akan beda jadi sekalagi mungkin kembali ke orangnya sendiri apakah sudah merasa siap merasa yakin dan apakah lingkungan sekitarnya mampu membuat dia merasa aman untuk presenting themselves secara formal.

58:04-59:40 Lisistrata

Dan itu keputusan besar ya untuk coming out tercatat di direktori. Kemarin ada seniman yang trans menginfokan ke IVAA karena udah memutuskan untuk berganti identitas gender menginfokan ke IVAA untuk update data. Ada juga yang seperti itu. Tapi perlu diingat bahwa bisa jadi lingkungan IVAA adalah lingkungan yang terlalu privilege ya karena banyak arsiparis kita atau yang kerja di sini perempuan laki-laki yang gendernya mungkin mayoritas hetero juga jadi kalau kita lupa sama privilege kita kadang repot. Kadang obrolan seperti ini mengingatkan bahwa situasiku secara privilege. Ternyata banyak identitas minor yang lebih punya situasi yang rumit.

59:40-1:00:53 Oming

Ada closing statement dari kalian berdua dan bisa juga menanggapi banyak banget sekarang inisiatif temen-temen yang bikin direktori khusus untuk seniman perempuan. Sejauh ini yang aku tau ada Jaringan Seniman Perempuan, database Pegiat Seni Perempuan, Peretas bikin direktori Pegiat Seni Perempuan dan aku liat dari bidang seni lain kayak desainer kemaren juga sempet nemu Instagramnya desain id jadi mereka ngumpulin desainer perempuan terus difeature di situ. Gimana kalian menanggapi ini sekalian closing statement.

1:00:53-1:01:54 Harits

Kalau menurutku pembuatan direktori emang perlu karena memang bagian dari pencatatan, pembangunan. Sekali lagi kita harus melihat bagaimana metode pembentukan direktori. Apakah inklusif? Siapa yang diutamakan? Siapa yang kadang dilupakan dari posisinya? Dan gimana caranya supaya pembentukan direktori tidak mengorbankan sebagian kelompok. Harus ada kesadaran itu saat membuat direktori. Baik itu direktori seni rupa atau direktori lainnya.

1:01:54-1:14:16 Lisistrata

Ada upaya dari kelompok yang udah nggak sedikit sekarang ini. Apalagi teknologi udah memungkinkan itu. Upaya yang sangat seru bagus sangat perlu kita support. Apalagi ketika praktik seni, luas banget dan kalau memulai atau direktori dimulai dari ruang yang kecil, komunitas spesifik kali lebih bisa mendefinisikan dirinya. Daripada mengejar yang besar karena tidak ada solusi untuk semua hal, termasuk di pendataan ini. Ternyata dari ngurus pendataan dokumentasi direktori kita jadi memunculkan masalah di seni contemporary art aja udah berlapis-lapis.

Jadi menurutku sangat menarik ketika pemunculan direktori, pendataan yang berangkat dari concern yang spesifik lebih seru dan patut didukung. Misal kemarin itu belum lama obrolan sama Mbak Lisabona sama Mbak Naomi karena Cipta Media Ekspresi udah ditutup kalau nggak salah. Tapi data-data dan output karya dokumentasi masih bisa dimanfaatkan, dibaca, diluncurkan. Ada rencana bikin semacam online library dan itu baru obrolan awal mau memanfaatkan server IVAA juga untuk menyimpan.

Kita senang banget kalau data itu disimpan di sini da bisa diexpose di online archive. Justru inisiatif seperti itu yang asik. Karena semakin luas dan nggak ada solusi untuk semua permasalahan termasuk art database.

Memang perlu komunikasi lintas sektoral, perjuangan lintas sektoral, itu yang perlu terus disambung. Ada kelompok difabel, berbagai kelompok minoritas yang praktik seninya bisa di-highlight.

IVAA wataknya ada online archiving, perawatan data fisik, on site archives, ada juga yang aktivasinya. Jadi archiving bukan cuma pekerjaan teknis tapi juga itu bisa dijadikan tools untuk lihat praktik kultural lainnya. Nah praktik aktivasinya di IVAA belakangan yang banyak dilakukan. Online archive itu sebagai salah satu warisan yang kita mau improve masih long way to go karena itu teknologi tahun 2011. Lumayan rumit persoalan IT, bisa jadi bikin baru akan lebih mudah daripada mengurusi yang lama. Itu data yang sedang kami upayakan, data yang lebih curated, yang politik pengetahuannya lebih terurus. Sekarang lebih jalan dulu aja, evaluasi belakangan. Tapi pembacaan yang dilakukan Ais ini jadi masukan jadi reminder.

[Tur kantor IVAA]

1:14:16-1:15:09 Oming

Oke Sis kita tar lanjut lagi di kanal online lainnya. Makasih Ais dan Lisis ngobrolnya. Buat temen-temen yang udah ngobrol makasih yang udah gabung. Yang mau baca tulisannya Ais, linknya ada di bio IG Koalisi Seni. Pembacaannya Ais ngeliat datanya BDGConnex, IVAA, dan Indoartnow.

Sampai jumpa lagi di RUU selanjutnya. Stay tuned.

Ilustrasi: cyano66 via Canva

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.