/   Kabar Seni

Oleh: Satria Yanuar Akbar, North Celebes Creative Lab (NCCL)

Perempuan adalah sosok yang diagungkan serta diberikan keistimewaan dalam kebudayaan Sulawesi Utara. Sejarah asal-usul masyarakat Minahasa bertutur tentang sosok suci perempuan bernama Karema. Sebagai pemberi kehidupan, Karema adalah sosok yang menemukan Lumimuut,  ibu dari suku-suku Minahasa. 

Sosok-sosok pembaharu dalam sejarah Sulawesi Utara juga didominasi oleh perempuan-perempuan perkasa. Misalnya, Maria Walanda Maramis, tokoh emansipasi perempuan pendiri organisasi (Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya (PIKAT) pada 1907. Ada pula Marie Thomas, perempuan Minahasa kelahiran tahun 1896, dokter perempuan pertama yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. 

Lalu bagaimana dengan perkembangan para seniman perempuan Sulawesi Utara hari ini? Dalam rangka Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional, NCCL sebagai kolektif kesenian yang fokus dalam kajian perkembangan budaya di Sulawesi Utara berbincang bersama beberapa seniman perempuan muda untuk mencatat denyut perkembangan seni dan ruang budaya yang mereka alami.

Budaya yang Tak Mengenal Perbedaan

Budaya patriarki telah menciptakan ruang dalam rumah tangga, di mana dapur adalah ruang bagi perempuan. Tetapi di Sulawesi Utara, khususnya di Minahasa, ruang seperti itu hampir tidak dikenal. Perempuan dan laki-laki umumnya bisa menjadi juru masak dan memiliki kesetaraan di wilayah dapur. Hal ini kemudian menjalar kepada berbagai aspek lainnya dalam kehidupan kemasyarakatan. 

Secara umum, di Sulawesi Utara posisi perempuan mendahului laki-laki. Hal ini didasarkan atas pemahaman masyarakat bahwa perempuan adalah pencipta yang melahirkan manusia baru. Mereka adalah kreator sekaligus pemilik peran sangat signifikan dalam fungsi reproduksi demi regenerasi bangsa. Perempuan adalah sosok yang harus dihormati sebagai pencipta dan pemelihara kehidupan. 

Perempuan Minahasa menempati posisi yang cukup unik dalam berbagai bidang karena tidak pernah tersubordinasi secara sosial dan kultural dari kaum pria. Melalui cara pandang ini, secara budaya, masyarakat Minahasa telah dapat menyelesaikan isu kesetaraan gender. Sehingga, kini isu ini tidak pernah menjadi hal sentral yang mengemuka. 

Atas latar belakang budaya ini, perempuan memiliki ruang dan keleluasaan yang lebar untuk dapat berkarya sebagai apapun, termasuk menjadi seniman atau pelaku kreatif. Nilai egaliter masyarakat Minahasa memungkinkan perempuan menggeluti apapun, sebagaimana para laki-laki. 

Banyak cerita rakyat Sulawesi Utara yang menonjolkan tokoh sentral perempuan, seperti Pingkan Matindas, Keke Panagian, dan Marimbaouw. Melalui tradisi lisan yang terwariskan lintas generasi, kita dapat melihat budaya Minahasa dan Sulawesi Utara tak mengenal perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan.

Identitas Perempuan Sulawesi Utara dan Perkembangannya

Karakter perempuan Sulawesi Utara dapat kita telusuri lewat catatan-catatan kolonial. Dalam bukunya, Nicolaas Graafland, misionaris yang ditugaskan lembaga misionaris Belanda ke Minahasa tahun 1849, menuliskan perempuan Minahasa memiliki daya tarik kegigihan dan kemauan yang keras. Sifat perempuan Minahasa ia gambarkan sebagai sosok perasa, pecinta anak yang besar dan mendalam, penggembira, lincah, rajin, serta gemar menolong. Satu catatan yang digarisbawahinya adalah perempuan Minahasa berkemauan keras dan sering dapat memaksakan kehendaknya. Oleh karenanya, perempuan Minahasa di berbagai tempat jarang ditemukan kalah pintar dari anak laki-laki.

Dalam arsip negara kolonial Belanda tahun 1869, sebelum politik etis dijalankan, persentase murid perempuan di Sulawesi Utara tercatat sebanyak 34,5%. Dapat dikatakan kondisi pendidikan saat itu di Minahasa relatif maju serta mendorong perempuan berani merantau dan berkarir di luar daerah. Dalam lingkungan seperti inilah pada 1895 lahir sosok seniman perupa perempuan Emiria Soenassa, anggota Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) dan seniman perintis yang berpartisipasi dalam pameran-pameran seni rupa awal bersama para perupa pribumi saat itu. 

Namun, ruang keterbukaan dan budaya yang tidak mengenal perbedaan ibarat memiliki dua mata pisau bagi perkembangan kesenian di Sulawesi Utara. Di satu sisi, para perempuan dan juga para laki-laki tertantang menjelajah ke berbagai pelosok negeri. Pada tahun 1960-an eksodus perempuan Minahasa ke tanah Jawa maupun luar Indonesia berlangsung sangat intens. Di sisi lain, secara tidak disadari, eksodus tersebut menumpulkan perkembangan kesenian di Sulawesi Utara. Dekade 1980-an, terjadi kemandekan perkembangan kesenian di Sulawesi Utara. Pertumbuhan kesenian berjalan sedikit lambat apabila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, terutama Pulau Jawa. Infrastruktur kesenian tidak terbangun dan waktu seakan berjalan lebih lambat. Hal ini berpengaruh hingga saat ini. 

Ketimpangan pertumbuhan ekosistem seni membuat para seniman muda sulit mengeksplorasi dan mengembangkan gagasan kekaryaan mereka. Saat ini, banyak perupa muda di Sulawesi Utara kesulitan mencari ruang pameran ataupun ruang alternatif yang mau menerima karya-karyanya. Minimnya jumlah kurator, galeri seni, dan media seni menjadikan perkembangan seni rupa di Sulawesi Utara berkembang dalam lingkaran yang sempit. Dampaknya, bakat-bakat istimewa terpendam hingga terlupakan. 

Dalam dunia teater, gejala perkembangan para seniman perempuan pun memiliki nasib yang sama. Teater merupakan seni yang digemari di Sulawesi Utara karena bersentuhan erat dengan tradisi gereja. Teater modern berkembang sejak tahun 1970-an. Berbagai lakon dan perkembangan dinamika teater tumbuh subur di tahun 1970-an, namun di tahun 1990-an dinamika ini sedikit melambat. Dunia teater modern Sulawesi Utara bergerak statis. Meskipun perempuan diberikan ruang terbuka, nuansa maskulin di bidang teater sangat kental dan kentara. 

Eirene Debora, seorang sutradara perempuan muda, menyampaikan ia sangat sulit keluar dari dominasi pria, khususnya di bidang penyutradaraan. Setelah dia terlibat dalam beberapa nomor penyutradaraan, kini ruang itu lebih mencair.

Berbeda halnya dari segi keaktoran, baik di teater maupun film. Aktris muda MT Kembuan berpendapat dunia teater sangat memberikan ruang yang luas bagi tumbuh dan berkembangnya para pelakon-pelakon perempuan. Sementara itu, para pelakon tumbuh subur mewarnai industri perfilman nasional. Sosok-sosok seperti Amanda Manopo dan Ranty Maria adalah sebagian kecil dari para aktris muda yang berhasil di industri film nasional.

Seniman Perempuan Sulawesi Utara dan Etos Kemandirian

Albert Berni Kusen, Dosen Antropologi Minahasa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado menceritakan setidaknya sejak abad ke 15, cerita tentang heroisme perempuan di Sulawesi Utara telah mengemuka. Para pemimpin masyarakat (Walak) beberapa di antaranya adalah perempuan. Perempuan Minahasa telah terbiasa melakukan pekerjaan seberat laki-laki dan juga memiliki kemampuan beradaptasi secara cepat di lingkungan baru. 

Selaras pernyataan Meneer Albert, kita dapat melihat catatan sejarah pada rentang tahun 1992-1997 dalam program Mareng Am Wenang. Program ini menghadirkan para seniman ibu kota seperti Noorca Massardi, Ikra Negara, Nirwan Dewanto, Jose Rizal Manua, Niniek L. Karim, Remy Sylado, Alex Komang hingga WS Rendra untuk berinteraksi serta melakukan lokakarya seni bagi para seniman Sulawesi Utara. Di belakang layar, keberhasilan kegiatan ini berkat seorang produser perempuan tangguh, Donna Keles, yang dapat mendobrak sekat-sekat pembatas perkembangan kesenian di Sulawesi Utara dan kini menjadi Ketua Harian Dewan Kesenian Sulawesi Utara. Sayangnya selepas program itu, tak banyak lagi kegiatan berskala nasional yang diadakan. Tidak berjalannya proses transformasi dan regenerasi menjadi kendala klasik yang selalu dihadapi para pelaku seni di Sulawesi Utara. 

Sejatinya, salah satu puncak pencapaian eksistensi para seniman, termasuk perempuan, adalah membangun inisiatif dan kemandirian. Leluhur masyarakat Minahasa seperti Walanda Maramis telah memulai dan membuat fondasi bagi perempuan untuk membangun kemandiriannya dan mampu berorganisasi. Etos dan budaya kemandirian inilah yang harus terus dibangun dan digaungkan, karena di sinilah wujud eksistensi dan kesetaraan dapat diciptakan.

Ilustrasi: Needpix

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.