Koalisi Seni/Amalia Ikhlasanti
Data menunjukkan Indonesia sebagai pasar potensial untuk industri musik. Namun kebijakan pemerintah belum optimal mendukung musisi.
Data menunjukkan Indonesia adalah lahan basah industri musik digital. Datareportal (2022) mencatat konsumsi musik digital Indonesia tumbuh 20,1% dari tahun sebelumnya, seperti dikutip dari Statista. Riset tersebut juga menyatakan 56,7% orang Indonesia berinternet untuk mendengarkan musik, dan rata-rata menghabiskan waktu 1 jam 40 menit per hari di platform streaming untuk aktivitas tersebut.
Sementara data McKinsey & Company, mengutip Katadata, menunjukkan Indonesia pada 2016 adalah salah satu dari empat negara paling potensial untuk industri musik di Asia, selain Thailand, Hong Kong, dan Malaysia. Potensi itu juga terbaca dari laporan keuangan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) 2020. Laporan LMKN menyebutkan, sepanjang 2020 persentase royalti digital dari seluruh performance royalty yang berhasil didistribusikan ke pencipta mencapai 72,5% pada 2020. Angka itu meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang sebesar 41,7%.
Dari data tersebut, tergambar betapa Indonesia adalah pasar potensial dalam konsumsi musik digital. “Pertanyaannya, apakah pasarnya sudah sehat untuk musisi dan pelaku seni pertunjukan? Karena jangan sampai, Indonesia dilihat hanya sebagai pasar oleh para pelaku industri,” kata Koordinator Peneliti Koalisi Seni, Ratri Ninditya, dalam diskusi “Diam-diam Merugikan: Nasib Musisi di Era Digital” yang menjadi bagian acara Prolog Festival 2022 di Makassar, Sabtu, 12 November 2022.
Ratri menjelaskan, data LMKN patut dibaca dengan kritis. Mengingat besarnya konsumsi orang Indonesia terhadap musik digital, angka royalti yang didistribusikan lembaga itu ke pencipta tergolong masih kecil. Ini bisa dibandingkan dengan besaran royalti yang sudah didistribusikan Malaysia ke pencipta, yang per tahunnya mencapai sekitar Rp 350 miliar atau sembilan kali lipat lebih besar dari Indonesia. Padahal, pendapat musik digital Malaysia hanya sepersepuluh dari Indonesia. Situasi itu melahirkan pertanyaan berikutnya, terkait kebijakan yang mengatur soal royalti, dalam hal ini Undang-undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Penelitian Koalisi Seni pada tahun ini menunjukkan masih minimnya informasi dan pengetahuan di kalangan pelaku seni musik dan pertunjukan soal royalti. Data mencatat 59,6% responden tidak tahu siapa yang menarik royalti mereka. Adapun 77,9% responden mengaku belum bergabung dengan LMK. “Ini menarik karena bisa jadi banyak yang belum tahu, kenapa penting bagi musisi untuk bergabung dengan lembaga tersebut,” ujar Ratri.
Peran LMK terdefinisikan dalam UU Hak Cipta. Salah satu aturan di UU itu mengamanatkan LMK sebagai pihak yang mengelola royalti lagu dan musik di Indonesia. Artinya, seseorang bisa memanfaatkan lagu dan/atau musik secara komersial dengan membayar royalti ke pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait melalui LMKN.
Peraturan perundang-undangan Indonesia juga menyatakan LMK dan LMKN berhak mengambil total 20 persen dari royalti yang dikumpulkan, sebagai dana operasional. Selebihnya, dana tersebut akan didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Jika pihak-pihak ini bukan anggota LMK, maka dana akan diumumkan secara publik dan disimpan LMKN selama dua tahun. Bila dalam periode tersebut dana tidak diklaim, maka LMKN akan menyerap dana tersebut.
Menurut Ratri, idealnya musisi dan pelaku seni pertunjukan diberi pilihan untuk bergabung atau tidak dalam LMK untuk bisa menikmati royalti . “Nah, ini di UU tidak ada pilihannya,” kata dia. Kalau pun keanggotaan dalam LMK bersifat wajib, seharusnya ada pasal yang mengharuskan LMKN menyosialisasikan ketentuan ini pada musisi. Sayangnya, bila menengok survei Koalisi Seni, masih ada 36,5% responden yang tidak tahu kewajiban bergabung di LMK untuk dapat menikmati performance royalty.
Sampai saat ini pun, Ratri menjelaskan, ketentuan mengenai lisensi dalam UU Hak Cipta 2014 banyak dilepaskan melalui mekanisme pasar melalui frasa “kecuali diperjanjikan lain” dan “sesuai praktik yang wajar”. UU mengatur lisensi harus dicatatkan ke menteri, tapi ketentuan itu belum mencakup standar baku untuk menilai seberapa jauh ketentuan dalam lisensi berpihak pada musisi. Ini yang membuat musisi mesti lebih waspada dan cermat saat membuat perjanjian lisensi dengan pihak lain. Yang terjadi selama ini, mau tak mau, kebanyakan pencipta dan pelaku pertunjukan di Indonesia mengikuti skema yang telah berlaku di industri.
Selain lemahnya perlindungan dalam lisensi, Indonesia juga masih sangat tergantung pada platform asing. Bila pun ada pemain baru di industri musik digital, kapasitas teknologinya belum bisa menyaingi pemain besar seperti Youtube dan Spotify. Di titik ini, Ratri menilai pemerintah mestinya memberi dukungan terkait pengembangan teknologi para pemain industri dalam negeri. “Kalau pemerintah berpikir soal keberlanjutan industri musik digital, mestinya ada dukungan ke pengembangan teknologi untuk platform alternatif. Selama ini, mereka harus ‘beroperasi di luar UU’ karena aturan yang ada sangat mengekang mereka,” ujarnya.
Berangkat dari peta persoalan itu, Ratri menyebut soal pentingnya ada panduan yang memuat rambu-rambu pembuatan kontrak ke musisi dan pelaku seni pertunjukan. Ia juga menekankan pentingnya musisi dan pelaku seni pertunjukan untuk berserikat agar menguatkan daya tawar dalam bernegosiasi dengan pemerintah dan industri. Hal ketiga yang direkomendasikan, adalah soal sosialisasi hak cipta.
Isma Savitri