Pemenuhan hak berkesenian di Indonesia membutuhkan upaya dari banyak pihak, tak terkecuali pemerintah dan masyarakat. Karena itulah dalam mengkampanyekan kebebasan berkesenian (artistic freedom) di Indonesia, Koalisi Seni mengajak beragam pemangku kepentingan untuk terlibat di dalamnya. Termasuk, dalam upaya pencatatan data pelanggaran kebebasan berkesenian yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran itu nantinya bisa dilaporkan ke platform aduan kebebasanberkesenian.id yang tengah disiapkan Koalisi Seni.
Karena itulah Koalisi Seni menggelar rangkaian diskusi kelompok terpadu (FGD) sebagai bagian dari inisiatif mengkampanyekan kebebasan berkesenian. Diskusi pertama digelar di kantor Koalisi Seni di Jakarta Selatan pada 22 Februari 2023, dengan menghadirkan peserta dari beragam kalangan seperti organisasi nirlaba yang bergerak di bidang film dokumenter, hak asasi manusia, keamanan digital, serikat pekerja, media massa, dan lainnya.
Koordinator Riset Koalisi Seni Ratri Ninditya atau Ninin, menyebut pentingnya memberi penyadaran bagi lebih banyak orang bahwa kebebasan berkesenian adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi pemenuhannya. “Ini sangat penting untuk kita, terlebih bagi yang berkecimpung di sektor ini. Seni sangat rentan karena bisa menjadi alat politik penguasa, sementara idealnya seni bebas dari tekanan pihak mana pun juga,” ujarnya dalam acara tersebut.
Menurut Ninin, dari data pelanggaran pada 2010-2021 yang dihimpun Koalisi Seni lewat pemantauan media, terlihat bahwa tekanan pada kebebasan berkesenian bisa bersifat terang-terangan, tetapi ada kalanya subtil. “Angka yang kami himpun belum merepresentasikan kejadian nyata karena banyak pelanggaran kebebasan berkesenian yang tidak dilaporkan; dan ketika terjadi banyak pelarangan, pekerja seni bisa jadi otomatis melakukan swasensor,” kata dia.
Dalam Quadrennial Periodic Report Indonesia tentang pelaksanaan Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya tahun 2016 dan 2020 pun, data pelanggaran kebebasan berkesenian belum dicatatkan. Harapannya, dengan adanya situs kebebasanberkesenian.id, nantinya Indonesia dapat mencatatkan datanya dalam laporan empat tahunan 2024 mendatang.
Untuk proses pencatatan itulah Koalisi Seni memerlukan jejaring yang bisa memberi dukungan dengan kapasitasnya masing-masing. Jejaring itu diharapkan tidak hanya ikut melakukan pemantauan di lapangan, tetapi juga menyebarluaskan informasi adanya mekanisme pengaduan di kebebasanberkesenian.id.
Elma Adisya, Content Strategist media daring The Finery Report dalam FGD ini menggarisbawahi pentingnya sosialisasi soal kebebasan berkesenian ke seniman-seniman muda yang bekerja di industri kreatif. Ia mencontohkan seniman webtoon yang dalam pekerjaannya kerap bersentuhan dengan isu-isu menarik -tetapi bisa jadi sensitif. Elma juga menyebut bahwa kondisi saat ini memungkinkan seniman rentan mengalami “persekusi online” di dunia maya, maupun menerima shadowbanned.
Lain halnya di bidang fotografi, tekanan ada kalanya dialami fotografer saat mengangkat isu sensitif, yang tak jarang memicu swasensor dalam proses berkarya. Kondisi itu dilematis, mengingat, kata Ng Swanti dari Pannafoto Institute, seniman terkadang butuh untuk mempublikasikan karyanya.
Sedangkan di ranah produksi dokumenter, opresi bisa terjadi dalam bentuk intimidasi fisik dan verbal sebelum proses pembuatan film, baik ke pembuat maupun informan. Lembaga nirlaba In-Docs mendapati, belum banyak pekerja film dokumenter yang menyadari risiko ini. Tak hanya itu, persoalan akses sebagai bagian dari hak untuk berpindah tempat juga masih membayangi pekerja seni sektor ini.
Ikhsan Raharjo dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) menambahkan, pelanggaran atas kebebasan berkesenian tak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi yang melingkupi pekerja seni. Ia menyebut, penyensoran dan pelarangan berkesenian bisa menyebabkan pekerja seni kehilangan akses penghasilan. “Ini kerentanan yang ditemukan Sindikasi dan belum masuk ke radar pemerintah,” kata dia.
ISMA SAVITRI