Solopos.com, 30 Desember 2021
Perempuan pekerja seni lebih terbebani kerja emosional. Ada ekspektasi masyarakat terhadap perempuan yang berbeda ketimbang pengharapan atas lelaki.
Berikut versi panjang tulisan ini, yang dimuat di Solopos.com pada 30 Desember 2021.
Solopos.com, SOLO – Riset yang diselenggarakan Koalisi Seni menemukan fakta perempuan pekerja seni lebih terbebani kerja emosional. Ada ekspektasi masyarakat terhadap perempuan yang berbeda ketimbang pengharapan atas lelaki.
Kerja emosional didefinisikan sebagai pengelolaan perasaan untuk menciptakan tampilan wajah dan tubuh yang ditampilkan kepada publik, dalam konteks pekerjaan layanan jasa. Teori kerja emosional menganggap pengaturan emosi seorang pekerja tidak hanya dipengaruhi budaya dan norma sosial, tetapi juga diatur oleh pemberi kerja.
Dalam konsep kerja emosional, pemberi kerja dapat melatih pekerja untuk mengelola dan meregulasi emosi mereka sesuai arahan sehingga kerja emosional merupakan wujud dari komodifikasi emosi.
Ada tiga karakteristik utama dalam kerja emosional. Pertama, membutuhkan kontak tatap muka atau berbalas suara dengan publik. Kedua, mengharuskan pekerja mengubah kondisi emosional orang lain, misalnyaklien atau pelanggan. Ketiga, memperbolehkan pemberi kerja, melalui pelatihan dan pengawasan, untuk mengendalikan aktivitas emosional pekerja.
”Perempuan dianggap punya sifat feminin seperti kooperatif, perhatian, merawat, dan ramah. Sifat itu dianggap terberi dan alamiah untuk perempuan, padahal kenyataannya tidak. Dampaknya, perempuan yang jadi pekerja seni harus menanggung beban kerja emosional,” ujar koordinator peneliti kebijakan Koalisi Seni, Ratri Ninditya, seperti dikutip dari laman koalisiseni.or.id.
Definisi seniman menurut UNESCO
Koalisi Seni adalah lembaga nirlaba yang bekerja membangun ekosistem seni lebih baik di Indonesia. Koalisi Seni melakukan advokasi kebijakan seni, mendorong terwujudnya dana abadi kesenian, serta memperkuat pengelolaan pengetahuan dan jaringan antara anggota organisasi.
Anggota Koalisi Seni berkontribusi memperbaiki ekosistem seni masing-masing, serta bekerja mengarusutamakan seni sebagai aset besar Indonesia. Hingga November 2021, Koalisi Seni beranggotakan 324 lembaga dan individu yang tersebar di 24 provinsi.
Riset Koalisi Seni 2021 mengumpulkan data dari survei daring yang diisi 202 responden serta analisis wawancara mendalam dengan sembilan narasumber. Narasumber wawancara mendalam adalah perempuan yang bekerja di sektor seni dengan peran di balik layar dan menangani interaksi publik secara intensif.
Hasil riset ini diluncurkan dalam webinar beberapa hari lalu dengan narasumber Ratri Ninditya serta penanggap Cecil Mariani (seniman dan pengajar Institut Kesenian Jakarta), Hendrika Mayora Victoria (aktivis transpuan dan pendiri Fajar Sikka), dan Kunni Masrohanti (Ketua Penyair Perempuan Indonesia).
Intensitas Kerja Tinggi
Hasil survei yang dihimpun dalam buku setebal 162 halaman dengan judul Merawat Seni dengan Hati: Kondisi Kerja Emosional Perempuan menunjukkan perempuan pekerja seni cenderung bekerja dengan intensitas tinggi dan beban emosional besar, tidak dibekali cukup keterampilan kerja, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang.
Di bawah patriarki dan kapitalisme, perempuan pekerja seni rentan mengalami ketimpangan berbasis gender dan kelas. Kajian UNESCO (2019) menyoroti sebagian besar subsidi seni bukan berasal dari pemerintah, patron, atau swasta, melainkan dari seniman yang bekerja tanpa upah atau berupah rendah.
Studi yang sama juga mengutip bahwa 28% perempuan seniman bekerja paruh waktu, namun hanya 18% laki-laki memilih sistem kerja serupa (UNESCO 2019). Dalam struktur kerja eksploitatif dan bias gender ini pula kerja afektif dipinggirkan sebagai wilayah kerja yang minim penghargaan dan pelindungan.
Baca juga: Ketika Perupa Menelaah Ulama Dadakan
Banyak inisiatif yang berupaya membicarakan, mengangkat, dan mendokumentasikan kontribusi perempuan seniman di tingkat lokal dan nasional, antara lain program Hibah Cipta Perempuan yang digagas Kelola, Jaringan Seni Perempuan, Cipta Media Ekspresi melalui Sekolah Pemikiran Perempuan, Perkawanan Perempuan Menulis, InterSastra, Peretas.
Di pemerintahan, program Fasilitasi Bidang Kebudayaan yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menetapkan kebijakan baru pada 2021, yakni terhadap lembaga dan program seni yang melibatkan perempuan, baik penggagas dan pekerja, sebagai prioritas utama.
Berbagai kemajuan menggembirakan ini merupakan harapan bagi perempuan seniman dan pekerja seni yang selama ini kontribusinya tidak pernah mendapat pengakuan yang layak dalam panggung kesenian Indonesia yang megah.
Baca juga: Masuk Era Hibrida, Industri Musik Indonesia Butuh Strategi Baru
Berbagai dokumentasi seni di Indonesia mencatat kontribusi perempuan-perempuan seniman atau pekerja seni, namun peran para perempuan pekerja di balik layar yang memungkinkan terwujudnya pertunjukan, pameran, dan karya sastra hampir tidak pernah dicatat, apalagi dikaji secara mendalam.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Koalisi Seni dalam rangka advokasi kebijakan seni yang berpihak pada gender minoritas, ditemukan fakta peran perempuan dalam acara-acara seni rupa berskala besar di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Kota Jogja, dan Jakarta meningkat secara ajek (Koalisi Seni 2021).
Dimaknai Sekadar Penunjang
Perempuan mulai menjadi pengambil keputusan strategis di acara-acara seni rupa sebagai kurator, manajer, atau pengarah. Perempuan merawat, menjaga, dan memastikan seni budaya terus bergerak dan berkembang. Di sektor kesenian Indonesia, perempuanlah yang mengambil peran di balik layar, panggung, meja, atau kanvas yang dipamerkan kepada khalayak.
Tanpa peran-peran di balik layar ini, kegiatan seni tidak akan terlaksana. Perempuan juga bekerja di berbagai lembaga dan perusahaan seni sebagai manajer, staf komunikasi/humas, administrasi, keuangan, asisten pribadi, liaison officer, staf keanggotaan, dan lain sebagainya.
Sering kali peran perempuan di balik layar dimaknai sekadar sebagai peran-peran penunjang. Tidak banyak perempuan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan pekerja seni tak hanya rentan secara ekonomi, namun juga emosional. Hampir separuh responden (46%) mengaku bekerja tanpa kontrak tertulis.
Tempat kerja bukan ruang aman karena lebih dari 25% pernah mengalami kekerasan di tempat kerja, setidaknya sekali dalam setahun terakhir. Kondisi penghasilan mereka belum memenuhi standar layak, 41% mengaku upah kerja belum memenuhi standar upah minimum tempat mereka tinggal. Mayoritas responden (82%) tidak menjadi anggota serikat pekerja atau wadah sejenis.
”Kondisi kerja buruk ini berbanding terbalik dengan tingginya motivasi kerja responden. Tingginya motivasi di tengah buruknya kondisi kerja bisa berdampak pemakluman dan pelanggengan eksploitasi,” kata peneliti kebijakan Koalisi Seni, Harits Paramasatya, seperti dikutip dari laman Koalisi Seni.
Para perempuan menolak diskriminasi di tempat kerja. (Antaranews.com)
Kondisi kerja emosional meliputi segala bentuk pengelolaan emosi pribadi di tempat kerja untuk ditampilkan kepada orang lain, menangani emosi orang lain, dan mengubah emosi orang lain.
Bentuk kerja emosional yang teridentifikasi dalam riset ini adalah menampilkan maskulinitas, menciptakan suasana kondusif, menjaga reputasi, menghadapi perundungan, melakukan interaksi sosial secara terus-menerus, menangani keluhan, memberikan bimbingan psikologis, dan menjaga citra di media sosial.
Sejumlah narasumber mengatakan mengalami kelelahan fisik, depresi, paranoia, kelelahan mental, dan sakit kepala. Kebanyakan narasumber bekerja di tempat tanpa jaring pengaman memadai terhadap implikasi kerja emosional. Dukungan hanya bisa diharapkan dari keluarga atau komunitas tempat mereka tinggal.
Sebagian besar tempat kerja perempuan seniman atau perempuan pekerja seni tidak memberikan dukungan kesehatan dalam bentuk asuransi kesehatan maupun penggantian biaya berobat. Sistem pelindungan di tempat kerja dalam bentuk forum diskusi atau serikat pekerja belum ada secara merata di berbagai tempat kerja.
Luput dari Kebijakan Publik
Kerja seni masih menjadi titik buta bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Sektor kerja seni dapat dikatakan sama sekali luput dari kebijakan publik mengenai ketenagakerjaan yang mengandung bias manufaktur dan bias kerja formal.
Undang-undang tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-undang tentang Ekonomi Kreatif belum secara spesifik mengatur hak-hak pegiat seni dan pelaku kreatif sebagai pekerja. Kekaburan relasi kerja dan sikap-sikap bias gender yang berlaku luas dalam sektor seni yang patriarki membuat kondisi kerja perempuan pekerja seni masih buruk.
Hal ini berimbas pada besarnya beban kerja emosional. Implikasinya sangat dirasakan terutama mereka dengan akses terbatas pada sistem pendukung. Sebagian besar responden mengembangkan kapasitas diri dengan terjun langsung ke pekerjaan. Hanya sebagian kecil yang diber bekal khusus meningkatkan kapasitas oleh tempat kerja mereka.
Sebagian besar responden juga tidak memiliki wadah khusus untuk menyampaikan aspirasi mereka di tempat kerja. Kerja emosional yang dilakukan umumnya tidak diakui sebagai jenis pekerjaan tersendiri di tempat kerja. Sebagian besar tidak disebut secara eksplisit di deskripsi pekerjaan.
Definisi pekerjaan emosional belum dipahami. Keseluruhan pekerjaan, termasuk kerja emosional di dalamnya, dilakukan tanpa pelatihan atau bahkan penjelasan singkat tentang pekerjaan mereka. Dukungan yang diberikan untuk melakukan kerja emosional juga sangat minim.
Matriks tersebut mendefinisikan kerja seni mencakup semua orang yang
ada di A+B+C. Semua lingkup kerja seni (seperti novelis, penyanyi, penari,
sutradara, koreografer, desainer) adalah kerja seni, terlepas apakah
kegiatan/entitas tempat/pemberi kerjanya tidak masuk dalam sektor
seni. (Sumber: buku Merawat Seni dengan Hati: Kondisi Kerja Emosional Perempuan terbitan Koalisi Seni pada 2021)
Sebagian besar narasumber tidak mendapat bantuan khusus dari institusi tempat kerja mereka dalam bentuk pelatihan, anggaran, atau jenis-jenis bantuan lainnya. Pada beberapa kasus, terutama di kolektif dan di lembaga seni nirlaba, narasumber harus membiayai perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengerjakan kerja emosional dari dana pribadi mereka.
Sangat sedikit narasumber yang mendapat pelatihan khusus untuk kerja emosional. Narasumber yang mendapat pelatihan, mengaku kalau mereka mengikuti pelatihan dengan inisiatif pribadi. Hanya dua narasumber yang mendapatkan pelatihan untuk melakukan kerja emosional dari tempat kerjanya, tetapi satu narasumber mendapatkan pelatihan itu saat bekerja di lembaga non-seni.
Undang-undang tentang Pemajuan Kebudayaan dapat menjadi salah satu acuan untuk mendukung pekerja seni melalui pencantuman ketentuan tentang pelindungan hak-hak pekerja seni dalam peraturan turunannya. Peningkatan kesejahteraan rakyat adalah salah satu tujuan dalam pemajuan kebudayaan (Pasal 4) dan memperoleh manfaat dari pemajuan kebudayaan untuk kesejahteraan menjadi hak tiap orang (Pasal 41).
Pekerja seni merupakan bagian dari sumber daya manusia kebudayaan yang disebut dalam undang-undang ini. Besarnya motivasi dan kontribusi perempuan pekerja seni dalam pemajuan kebudayaan menunjukkan tanpa menjaga keberlangsungan kerja mereka, peempuan pekerja seni tak akan sejahtera dan cita-cita pemajuan kebudayaan tak akan terwujud.
Komitmen Pemerintah
Kerja emosional perlu diidentifikasi sebagai salah satu bentuk kerja yang valid. Kerja emosional memiliki risiko fisik dan mental sebagaimana jenis-jenis kerja lain. Pemberi kerja harus menyediakan mekanisme penanggulangan risiko terhadap kerja emosional yang dilakukan oleh pekerja.
Hal ini dapat mencakup, tetapi tidak terbatas, pada pengalokasian waktu istirahat yang cukup untuk pekerja; pemberian durasi kerja atau rotasi kepada staf atas kerja-kerja yang membutuhkan komunikasi intensif dengan publik, sesuai kesepakatan dua belah pihak; dan jaminan biaya perawatan kesehatan mental pekerja.
Kantor Berita Antara, beberapa waktu lalu, memberitakan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo mengatakan kementerian ini berkomitmen memperkuat kesejahteraan perempuan pekerja di sektor seni dan kreatif dengan menghadirkan berbagai kebijakan.
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo (Antaranews.com)
Angela mengungkapkan ada banyak masalah yang dihadapi para perempuan pekerja seni, seperti minimnya perlindungan, minim representasi, ketimpangan upah, kondisi kerja yang intensif dan emosional, serta ketidakpastian dalam perkembangan karier.
Semua itu berdampak pada kesehatan fisik dan mental para perempuan pekerja seni, padahal mereka turut berkontribusi terhadap keberlangsungan ekosistem seni dan industri kreatif di Indonesia.
“Kami tentu berpihak kepada kesejahteraan para perempuan pekerja di sektor seni dan kreatif. Kami yakin berbagai masukan yang diberikan bisa menjadi pijakan awal kita mewujudkan kebijakan dan program yang betul-betul bisa memberikan dampak positif kepada para perempuan pekerja seni,” kata Angela dalam diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kementerian akan melihat kemungkinan apa yang bisa dilakukan untuk mengisi kekosongan produk hukum perlindungan terhadap pekerja seni termasuk pekerja informal, produk hukum yang inklusif dan berkelanjutan.
Sejauh ini Undang-Undang tentang Ekonomi Kreatif untuk melindungi semua pelaku ekonomi kreatif, termasuk seniman dan pekerja lepas atau informal. Pasal 10 undang-undang ini secara eksplisit ditujukan untuk melindungi pelaku ekonomi kreatif.
Baca juga: Pemugaran Area Wisata Waduk Gajah Mungkur Mundur dari Rencana
Perlindungan dengan cara mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif berupa pengembangan riset; pengembangan pendidikan; fasilitasi pendanaan dan pembiayaan; penyediaan infrastruktur; pengembangan sistem pemasaran; pemberian insentif; fasilitasi kekayaan intelektual; dan pelindungan hasil kreativitas.
Angela mengatakan pemerintah telah menerapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk industri kreatif, termasuk pekerja seni dan kreatif. SKKNI tersebut untuk sektor musik, seni rupa, seni pertunjukan, film, fotografi, fesyen, kriya, kuliner, desain grafis hingga animasi.
“Harapannya ini dapat memastikan ketersediaan supply sesuai kebutuhan dunia industri seni dan kreatif terkini. Industri kreatif yang kondusif tentu akan membantu menciptakan lahirnya pekerja-pekerja yang kompeten sehingga dapat melahirkan sumber ekonomi baru serta peluang kerja,” kata dia.
Penulis: Ichwan Prasetyo