Pandemi Covid-19 menjadi titik tolak bagi sejumlah seniman untuk memperbaiki ekosistem seni tanah air. Pekerjaan ini tidak digarap sendirian. Para seniman memutuskan untuk berhimpun dalam perserikatan agar suara mereka –terutama seniman dari daerah– lebih didengar oleh pemerintah.
Aristofani “Itok” Fahmi, misalnya. Itok adalah pemain flute yang mendirikan Asosiasi Seniman Riau (ASERI) bersama enam rekan seniman lainnya. Mulanya, mereka menemui sejumlah seniman seperti maestro seniman tradisi yang amat terpukul akibat wabah. Keresahan itu kemudian berkembang menjadi ide pendirian asosiasi seniman. Tak butuh waktu lama, ASERI dibentuk dan ditetapkan menjadi badan hukum yang mengadvokasi persoalan seniman dan ekosistem seni di Riau.
Begitu berdiri, ASERI langsung tancap gas menggalang donasi di Riau melalui program Lumbung Pangan Seniman (Lumpang). Lewat program ini, mereka membagikan 200 paket sembako bagi pekerja seni.
“Dari persoalan sembako kita akhirnya masuk ke persoalan kebijakan karena hal-hal konkret di lapangan harus diulik, dimulai dari persoalan kebijakan pemerintah daerah,” ujar Itok yang tergabung dalam Koalisi Seni sejak 2019.
Selain Lumpang, ASERI juga menggalang donasi untuk memastikan para seniman Riau mendapatkan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Program lainnya, asosiasi ini mengupayakan agar Dinas Pariwisata Riau dan pemerintah desa menyediakan fasilitas kegiatan kesenian dan mengadakan pertunjukan bersama setiap tahun. ASERI juga menggaet praktisi pemasaran untuk menyediakan pasar bagi para seniman yang ingin menjual karyanya.
Upaya ini tak berjalan mudah. Pemerintah Riau belum melirik kesenian sebagai sektor yang berperan dalam pembangunan. Karena itu, prioritas ASERI adalah mengadvokasi perumusan Pokok-pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Riau. Harapannya, otoritas daerah dapat menyusun daftar rencana pemecahan masalah ekosistem kesenian setempat.
“Cita-citanya, kami ingin mengajak Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk melakukan pengawasan supervisi mulai dari awal sampai detail mengenai UU Pemajuan Kebudayaan,” ujar Itok.
Setali tiga uang, pendirian Perhimpunan Nasional Teater Indonesia (Penastri) pada Oktober 2020 juga diawali dengan pertemuan bersama para pegiat teater. Menurut Ketua Umum Penastri, Shinta Febriany, persamuhan itu mencuatkan persoalan-persoalan utama di jagat teater Indonesia. Pembentukan serikat diharapkan dapat menjadi jawaban atas ragam permasalahan itu.
Misalnya, Penastri bermimpi untuk mengadakan program pendanaan khusus bagi ekosistem teater lewat Dana Perwalian Kebudayaan. Selain itu, saluran lain juga diupayakan semisal lewat berbagai institusi kebudayaan ataupun kelompok lain yang ingin menguatkan ekosistem teater negeri ini.
Sama seperti ASERI, perhimpunan teater ini juga mencoba jalur advokasi kebijakan demi pemerataan akses di kalangan teater. Shinta mengharapkan ada kebijakan egaliter untuk pengembangan kapasitas dan distribusi pengetahuan kesenian teater di seluruh daerah. “Kawan-kawan yang jauh dari pusat dan ibu kota kurang mendapatkan akses dan informasi untuk menambah pengetahuan dan wawasan pegiat teater,” ungkap Direktur Artistik Kala Teater itu.
Dalam membangun serikat, ASERI maupun Penastri turut berjejaring dengan Koalisi Seni. Shinta meminta dukungan koalisi untuk urusan logistik dan tenaga kesekretariatan. Sementara, Ito banyak belajar dari kebijakan maupun penelitian Koalisi Seni untuk diterapkan di daerahnya.
“Metodenya kami pinjam, saya minta izin dengan Koalisi Seni bahwa ini mendesak dan cukup praktis untuk diimplementasikan di daerah,” ujar Itok.
(Moyang Kasih Dewimerdeka)