/   Kabar Seni

Jakarta, 27 Februari 2024 – Kebebasan berkesenian di Indonesia berada dalam masa gelap. Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai bentuk represi terhadap seniman semakin terlihat, mulai dari pembatalan pameran Yos Suprapto Tanah untuk Kedaulatan Pangan, pelarangan Teater Payung Hitam Wawancara dengan Mulyono, hingga larangan peredaran lagu Bayar Bayar Bayar milik Sukatani. Selain kasus-kasus ini, masih banyak bentuk represi lainnya yang belum terungkap di media.

Kebebasan berkesenian juga kian terhimpit oleh berbagai regulasi. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengancam kritik terhadap pejabat negara, termasuk presiden dan wakilnya, baik di ruang daring maupun luring. Sementara itu, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberi kewenangan bagi negara untuk menyensor konten yang dianggap mengganggu “stabilitas nasional”. RUU Penyiaran yang memperketat larangan terhadap konten beragam gender, ditambah sejumlah peraturan daerah dan surat edaran kepolisian membatasi pertunjukan musik elektronik dengan alasan pemberantasan narkotika dan zat adiktif lainnya.

Bukan hanya di Indonesia, kebebasan berkesenian di Asia Tenggara juga menghadapi tekanan yang semakin besar. Otoritarianisme, sensor, dan represi kian menguat, menempatkan seniman dalam ancaman, baik dari negara maupun kelompok intoleran. Pembatasan terhadap seni kerap menjadi bagian dari upaya lebih luas untuk mempersempit ruang sipil.

Di Asia Tenggara, situasi politik dan kebebasan berkesenian saling mempengaruhi. Kemunduran demokrasi, konflik bersenjata, dan ketidakstabilan politik membentuk dinamika seni di berbagai negara. Seni sering digunakan sebagai alat politik negara dan kelompok dominan, sementara ruang ekspresi bagi kelompok marjinal semakin terpinggirkan karena tidak adanya wadah yang inklusif di luar arus utama.

Menanggapi situasi ini, Koalisi Seni meluncurkan buku Meretas Batas Semu: Memperkuat Jejaring Kebebasan Berkesenian Asia Tenggara, sebuah kajian komprehensif tentang tantangan dan strategi kolektif dalam memperkuat solidaritas regional. Buku ini juga menyoroti kebijakan progresif dan mekanisme pendanaan di beberapa negara yang dapat menjadi inspirasi bagi komunitas seni di Indonesia.

Peluncuran buku ini menjadi bagian dari upaya membangun strategi kolektif dalam menghadapi ancaman terhadap kebebasan berkesenian. Seni bukan sekadar bentuk ekspresi, tetapi juga hak asasi manusia yang dijamin oleh Konvensi UNESCO 2005 tentang Keragaman Ekspresi Budaya serta Rekomendasi UNESCO 1980 tentang Status Seniman.

Baca lebih lanjut “Meretas Batas Semu”: Memperkuat Jejaring Kebebasan Berkesenian Asia Tenggara ” di bit.ly/MeretasBatasSemu

Ditulis oleh: Amalia Ikhlasanti

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.