Foto instalasi “Tragedi Meja Makan” karya Eka Besse di Biennale Makassar
Diadakan tiap dua tahun, biennale adalah perhelatan seni yang mempertemukan narasi, pemikiran, dan kepentingan berbeda-beda. Di Indonesia, tercatat sepuluh Biennale yang ada atau pernah ada, yaitu Biennale Jakarta, Biennale Jogja, Biennale Jatim, Biennale Klaten, Makassar Biennale, Biennale Bali, Banten Biennale, Biennale Jateng, Sumatera Biennale, dan Center Point Open Biennale. Banyaknya Biennale dihelat menjadi sinyal semakin berlimpah kesempatan bagi seniman untuk berpartisipasi aktif dalam konstelasi wacana seni. Namun di sisi lain, apakah kesempatan tersebut sama besarnya bagi setiap gender?
Untuk menjawabnya, saya berbincang bersama dua Anggota Koalisi Seni, yaitu Temanku Lima Benua — akrab dipanggil Liben, penggagas Biennale Bank Sampah Klaten — dan Tanahindie yang aktif dalam Biennale Makassar. Tanahindie diwakili Regina Meicieza dan Azizia Diah Aprilya, yang masing-masing adalah anggota tim manajemen keuangan dan asisten kurator Biennale Makassar. Kami menilik kondisi terkini biennale di Klaten dan Makassar, menelisik fungsinya untuk memupuk kesadaran gender dan inklusivitas sosial.
Biennale Makassar terdiri dari tim kerja yang tersebar di 6 kota: Makassar, Parepare, Nabire, Pangkep, Labuan Bajo, dan Bulukumba. Banyaknya tim kerja mempermudah berjalannya Biennale Makassar. Keenam tim kerja berafiliasi dengan komunitas-komunitas di masing-masing kota. Ruang bebas diberikan bagi komunitas dan pegiat seni untuk turut berpartisipasi.
Untuk dapat membuat biennale yang ramah terhadap seluruh gender, pondasi pertamanya adalah memastikan penyelenggara memiliki kesadaran gender. Azizia menuturkan penyelenggara Biennale Makassar menyadari iklim seni rupa di kota tersebut masih didominasi laki-laki dan kurang ramah terhadap identitas gender lainnya. Ini terlihat dari partisipasi seniman perempuan yang masih minim dalam perhelatan-perhelatan kesenian. Maka, Biennale Makassar pada 2021 membuat Program Residensi Seniman Makassar Biennale.
Tim kerja di Makassar selaku penyelenggara residensi seniman perempuan mengaku sempat kesulitan menemukan peserta. “Entah karena memang kurang yang mengajak, masih malu-malu, merasa bukan seniman meski dia melakukan kegiatan seni, atau bahkan karena tidak adanya ruang aman dalam berkesenian,” kata Azizia.
Panitia berinisiatif melakukan ketuk pintu, mengajak satu per satu seniman perempuan melalui jejaringnya. Dari lima seniman perempuan yang terjaring, hanya tiga seniman yang dapat berpartisipasi secara penuh dalam residensi. Dua lainnya terbentur kesibukan pekerjaan serta telah menikah dan memiliki anak yang tak bisa ditinggal.
Residensi tersebut membuka kesempatan bagi seniman perempuan untuk terus melakukan eksplorasi dan bertukar pengetahuan. “Biennale Makassar juga memberikan dukungan kepada seniman residensi dari segi finansial serta berupaya memfasilitasi keperluan seniman agar dapat terus tumbuh berkembang,” ujar Regina.
Dengan mengangkat tema Sekapur Sirih, Biennale Makassar berusaha merespon pandemi Covid-19 dengan melihat kekayaan pengetahuan dan budaya masyarakat Indonesia melalui pengobatan tradisional. Ketiga peserta residensi berhasil menciptakan karya-karya yang berangkat dari pengalaman sehari-hari seperti kebiasaan di rumah. Salah satu peserta residensi mengangkat pengalamannya soal bawang putih sebagai obat dari segala jenis penyakit, yang juga menjadi representasi kedekatan personalnya dengan ibu.
Kesempatan berkesenian bagi semua orang juga diupayakan Biennale Bank Sampah Klaten. Setelah menyelenggarakan Biennale Klaten tahun 2017, Lima Benua Art Management bermitra dengan bank sampah Klaten untuk menyelenggarakan Biennale Bank Sampah Klaten 2020. 32 Bank Sampah yang tersebar di berbagai desa dan kelurahan di Klaten terlibat dalam biennale ini. 15 seniman mendampingi Bank Sampah untuk memproduksi karya seni.
Menurut Liben, Biennale Bank Sampah Klaten hadir untuk mengajak berbagai elemen bergabung secara sukarela dan dengan kesadaran bersama menciptakan iklim seni yang setara. Biennale tersebut membuka kesempatan seluas-luasnya sehingga siapa saja bisa ikut berpartisipasi, apapun kualifikasi maupun latar belakangnya. Selama memiliki mimpi dan kesadaran yang sejalan soal pengelolaan limbah sampah menjadi karya seni yang bernilai ekonomis, semua orang bisa bergabung.
Bagi Liben, seni di Biennale Bank Sampah Klaten terasa begitu dekat dengan masyarakat. JIka dulu warga Klaten harus menempuh jarak jauh demi menikmati pertunjukan atau pameran seni yang biasanya hanya terdapat di kota-kota besar, Biennale Bank Sampah memungkinkan mereka mengalami seni di desanya sendiri.
“Biennale Bank Sampah Klaten berangkat dari keinginan ibu-ibu pegiat bank sampah. Ini keinginan bersama, jadi efeknya dirasakan bersama-sama pula. Biennale menjadi hajat bersama, seperti acara-acara di desa yang membuat masyarakat guyub bergotong royong menyumbangkan tenaga, ide, barang, makanan, dan uang. Sehingga Biennale tidak hanya selalu seni rupa murni saja,” ujar Liben, Direktur Artistik Biennale Bank Sampah Klaten.
Liben juga menegaskan ibu-ibu pegiat bank sampah tidak hanya menjadi seniman karena membuat karya, namun juga ikut berpartisipasi secara manajerial dalam proses persiapan biennale. Proses ini bersifat cair, partisipasi ibu-ibu disesuaikan dengan kesibukannya. Ketika mereka padat dengan rutinitas sejak pagi hari, maka aktivitas Biennale akan dimulai malam hari. Para lelaki turut terlibat dalam proses tersebut seperti turut membantu proses penciptaan karya gunungan dari drum bekas.
Liben berharap pada masa mendatang pemerintah berpartisipasi lebih aktif agar upaya berkesenian yang demikian guyub antara ibu-ibu, pemuda desa, manajemen seni, dan pihak lainnya dapat terus berlangsung. Sementara itu, Regina dan Azizia berharap kesadaran gender di Makassar Biennale semakin meningkat, termasuk menjadikannya sebagai isu utama di tahun berikutnya. (Diva Oktaviana)