Bila rangkaian Kelas AKSI dipaparkan dalam sebuah diagram alur, sesi sebelum kelas terakhir menjadi konflik menuju klimaks cerita. Peserta kelas melengkapi pengetahuan teoretis dari sesi-sesi sebelumnya dengan mendengar pengalaman pelaku advokasi kebijakan seni. Ketika Kelas AKSI edisi kedua bergulir pada Oktober 2021, konflik tersebut berlangsung memikat bersama Anggota Koalisi Seni, pegiat film Meiske Taurisia yang akrab disapa Dede.
Ia memulai kelas yang membahas kondisi kebebasan berkesenian di perfilman dengan napak tilas sensor terhadap film Indonesia, mulai dari zaman Orde Baru sampai hari ini. Kebijakan Soeharto membuat perfilman Indonesia banyak dilingkupi tema seputar seks, komedi, dan horor sebagai propaganda negara untuk mengalihkan perhatian warga dari isu-isu politik. Selepas Reformasi, gempita kebebasan berpendapat digaungkan, namun film masih dipagari Lembaga Sensor Film (LSF).
Advokasi Lewat Karya
Bagi Dede, sensor film kini sudah tidak relevan. Banyak kalangan perfilman ingin LSF bubar atau paling tidak memperbaharui diri jadi institusi klasifikasi film. “Apakah mereka tahu definisi dari 12+ atau 17+ ketika mengkategori sebuah film? Kalau sekiranya tidak tahu, mending jadi lembaga klasifikasi saja,” ujar Dede pada 21 Oktober 2021.
Perspektif tersebut muncul dari laku empiris Dede ketika pertama kali menjadi produser dalam film Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Sedari awal, ia menyadari film perdananya dibuat untuk mengikuti festival yang tidak akan mudah menembus lembaga sensor. Setelah keliling ke bermacam festival, Babi Buta yang Ingin Terbang didaftarkan ke LSF. Dugaannya jadi nyata saat film itu, termasuk posternya, kena sensor. Proses itu lantas ia olah bersama rekan-rekannya menjadi dokumenter berjudul Potongan (2016).
Untuk menggaungkan isu sensor, Dede membawa Potongan ke pemutaran yang dihelat berbagai komunitas. Ia yakin komunitas adalah garda depan perfilman. Lebih lanjut, ia menekankan isu sensor akan muncul secara periodik. “Ketika film ketinggalan momentum saat Reformasi, Potongan kami publikasi saat fenomena swasensor populer, bareng dengan perayaan 100 tahun censorship oleh pemerintah,” tuturnya.
Kebebasan Berkesenian di Perfilman
Tidak hanya menyorot hak berkarya tanpa sensor dan intimidasi, Dede juga mendedah hak dasar kebebasan berkesenian lainnya di perfilman. Untuk memahaminya secara singkat, lebih dulu ia mengajak peserta melihat perfilman sebagai wilayah seni dengan spektrum yang teramat luas. “Tidak bisa kita menggeneralisir,” katanya ketika memaparkan soal hak mendapat dukungan, jalur distribusi, dan balas jasa atas karya. “Banyak orang berpandangan setiap film punya dampak ekonomi besar dengan memiliki jutaan penonton, tetapi tidak seperti itu.”
Dede menekankan tiap orang mesti sadar saat hendak membuat film, produknya nanti akan diakses pasar yang mana. Apakah untuk kalangan komunitas, tayang di bioskop, atau ikut serta dalam festival? “Dengan memetakan sejak awal, kita enggak akan terlalu capek dan emosional. Jangan sampai, misalnya, tanpa punya perangkat marketing (pemasaran), mau sampai ke bioskop hanya dengan satu atau dua layar saja.” Ia juga menggarisbawahi komunitas perlu sadar memposisikan diri sebagai aktor penting dalam ekosistem perfilman. “Di sini itu masih belantara, belum banyak jalan. Dengan banyaknya komunitas film di berbagai wilayah, ada kesempatan mengisi kekosongan itu.”
Terkait hak mendapat kebebasan berpindah tempat, Dede berkaca pada pengalaman aktual. Dalam sesi itu, ia sedang berada di Hamburg untuk roadshow film terbarunya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Otoritas di sana hanya menerima pengunjung yang sudah divaksin Pfizer atau Moderna. Direktorat Jenderal Kebudayaan kemudian berkorespondensi dengan Kemenkes untuk memfasilitasi Dede, tetapi nihil karena saat itu kebijakan Pemerintah Indonesia menggariskan vaksin tersebut hanya diberikan bagi tenaga kesehatan. Untung saja penyelenggara festival di Hamburg membantu Dede untuk mengakses vaksin tersebut.
Hal ini bertolak belakang dengan seringnya dukungan istimewa pemerintah pada olahragawan dalam mengikuti ajang internasional. Sayangnya, perlakuan istimewa itu tak diberikan bagi seniman.
Pembahasan mengenai hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan menjadi wacana paling menarik dalam kelas kali ini. Peserta kelas saling bercerita mengenai pengalamannya dan meminta pandangan Dede. Jessica Ayudya Lesmana, transpuan dari Yogyakarta, berbagi pandangan reflektifnya soal keterlibatan rekan-rekan transgender di produksi perfilman. “Kami muncul sebagai figuran untuk melengkapi wacana keterlibatan dalam film dan sering dianggap elemen komedi yang akhirnya ditertawakan,” katanya. “Apakah nanti akan ada seniman transgender diterima untuk menampilkan karyanya?”
Menanggapi fenomena tersebut, Dede mengungkit film dokumenter tentang kalangan transgender berjudul Renita karya Tonny Trimarsanto, sebagai bukti ada karya yang tak menjadikan kalangan transgender bahan tertawaan. Lebih lanjut, Dede menyarankan rekan-rekan transgender mencoba masuk ke perfilman melalui kelas akting, seperti Bengkel Kuma yang diampu Paul Agusta. Selain karena sutradara sering mencari aktor baru dari kelas-kelas akting, membuka jaringan lebih luas akan membantu pegiat seni dalam menghadapi suatu isu. “Kita enggak bisa mengadvokasi suatu kebijakan sendirian,” ujarnya.
Bunda Mayora, peserta lain dari NTT, turut terpantik membagi pengalamannya menginisiasi kelompok teater yang beranggotakan transpuan di Sikka. Bermacam tantangan menjadi batu sandungan, namun dengan berproses bersama kelompoknya tersebut, ia berhasil mengadakan pertunjukan di gereja.
Sekaligus menutup sesi, Dede merefleksikan pengalaman Bunda Mayora dengan kondisi kita yang sebaiknya tidak perlu menutup diri terhadap suatu fenomena. “Kita yakin betul sesama seniman punya perspektif lebih terbuka. Sebagaimana seni, pasti akan ada banyak hal yang bisa lebih cair,” ucapnya. (Ahmad Bari’ Mubarak)