/   Kabar Seni

Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah berusia lima tahun. Namun, pelaksanaan maupun manfaatnya belum dirasakan secara optimal oleh pegiat seni dan budaya hingga tingkat kabupaten-kota.

Salah satu kendala yang merintangi datang dari daerah itu sendiri. Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, melaporkan sejauh ini masih ada sekitar seperlima dari total 508 kabupaten kota yang belum menyelesaikan dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD). Padahal, dokumen yang berisi kondisi faktual dan permasalahan kebudayaan suatu daerah ini merupakan dokumen penting yang wajib disusun otoritas setempat untuk memajukan kebudayaan di daerah masing-masing.

Hafez mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengatasi persoalan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi PPKD. “Karena adanya peraturan ini, pemerintah (pusat) jadi punya satu alat instrumen untuk bisa memberi penilaian. Kabupaten atau kota mana yang sudah menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU dan mana yang belum,” ujar Hafez dalam webinar ‘Dana Sudah Ada, Strateginya Mana?: Lima Tahun Implementasi UU Pemajuan Kebudayaan’ yang diselenggarakan Koalisi Seni, 24 Mei 2022.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Koalisi Seni (@koalisiseni)

Selain macetnya penyusunan, Koalisi Seni juga mengevaluasi sejumlah pemerintah daerah yang telah merampungkan dokumen PPKD tapi belum membuka aksesnya secara luas kepada publik. Dokumen ini dianggap ‘barang gaib’ lantaran diklaim ada oleh pemerintah daerah, tapi wujudnya tidak ditemukan.

Berbekal Permen Dikbudristek No. 1 Tahun 2022 dan memanfaatkan mesin pencari di Internet, Koalisi Seni kemudian mengakses dokumen PPKD yang tersedia di Kementerian Pendidikan untuk membangun platform data terpusat terkait PPKD. Platform ini dapat diakses publik di pemajuankebudayaan.id

Persoalan lainnya adalah PPKD yang belum menjadi dasar penyusunan program dan anggaran terkait pemajuan kebudayaan di daerah. “Masih banyak keluhan yang Koalisi Seni dengar dari teman-teman budaya. (Mereka bilang) Kami sudah susun PPKD tapi kenapa anggaran di daerah kami belum berpihak ya, kenapa program-program kesenian di tempat kami justru menghilang. Hal ini menurut kami sangat penting,” kata Hafez.

Menyoroti lebih luas implementasi UU Pemajuan Kebudayaan dalam lima tahun terakhir, Hafez mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Keuangan yang memasukkan Dana Abadi Kebudayaan sebagai bagian dari kebijakan Dana Indonesiana. Harapannya, skema ini dapat memfasilitasi upaya pemajuan kebudayaan di Tanah Air, sekaligus menjadi sarana pengembangan kapasitas bagi pegiat kebudayaan.  

Meski begitu, Koalisi Seni mengkritik pemerintah pusat yang tak kunjung menerbitkan dokumen Strategi Kebudayaan Nasional. Padahal, dokumen ini amat penting untuk penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Dua dokumen ini, apabila telah disahkan, dapat menjadi peluang bagi sektor kebudayaan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Hafez turut meminta pemerintah segera menyelesaikan Peraturan Menteri mengenai izin pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) untuk tujuan komersial bagi industri besar dan pihak asing. “Yang penting dilakukan adalah harus ada pembagian manfaat agar ekosistem OPK terus tumbuh dan terjaga,” tutur dia. 

Salah satu daerah yang bergerak cepat merampungkan PPKD adalah Jawa Barat. Tak lama setelah UU Pemajuan Kebudayaan disahkan, kolektif seniman daerah ini langsung membentuk Forum Masyarakat Kesenian Kota Bandung dan membahas PPKD. 

Pegiat seni dan budaya dari Jawa Barat, Marintan Sirait, mengemukakan penyusunan dan pelaksanaan PPKD di daerah membutuhkan sumber daya manusia yang berkompeten di lingkup pemerintahan sekaligus memahami kebudayaan. Dua latar belakang tersebut penting agar perencanaan dan pelaksanaan program pemajuan kebudayaan lebih mudah dipahami dan diterapkan. Selain dari unsur pemerintah, peran aktif pegiat kebudayaan dan komunitas juga diperlukan. “Political will dari kebijakan hanya bisa digerakkan oleh ketentuan dan peraturan,” ujar dia.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Fitra Arda, mengakui bahwa penyusunan dan penerapan PPKD di daerah masih jadi pekerjaan rumah. “Kami sedang melakukan evaluasi terhadap PPKD ini. Itu sudah dilakukan,” ungkap dia.

Selain PPKD, kata Fitra, hal lainnya yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah pendampingan untuk memahami teknis pengajuan dan pemanfaatan Dana Indonesiana ataupun program pemajuan kebudayaan lainnya. Harapannya, kesempatan pemanfaatan program-program dari pemerintah bisa lebih merata, tak hanya berkutat di beberapa komunitas saja. 

Terkait penyusunan dokumen Strategi Kebudayaan, Fitra mengungkapkan masih ada kendala penyusunan lampiran yang belum rampung karena adanya masukan dari Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Dalam Negeri. Apabila proses ini rampung, maka draf dapat disetujui secara berlapis oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 

Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah III Kementerian Dalam Negeri, Budiono Subambang, mengemukakan lembaganya akan terus mengevaluasi penyusunan dan penerapan PPKD di daerah-daerah. “Kemendagri menerbitkan tentang  Peraturan Pelaksanaan Laporan dan Evaluasi Pemda. Dengan ada indikator tadi… daerah harus melaksanakan dan ada ukuran-ukuran keberhasilan dan hasil menyelenggarakannya itu akan dilaporkan ke Menteri Dalam Negeri yaitu melalui Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah,” ujar Budiono.

Notula webinar selengkapnya dapat diakses di sini. Video rekaman dialog ini dapat disimak di youtube.com/koalisiseni.

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.