/   Kabar Seni

Hafez Gumay, Koordinator Advokasi Kebijakan Koalisi Seni

Beberapa bulan terakhir adalah masa berat bagi seluruh umat manusia, termasuk para seniman dan pekerja seni. COVID-19 telah menewaskan belasan ribu orang dan menginfeksi ratusan ribu lainnya.

Guna menekan penyebaran virus tersebut, kini nyaris seluruh negara berupaya mengurangi interaksi antar manusia dalam jumlah besar. Kehidupan masyarakat berubah drastis. Sekolah diliburkan, pegawai diminta bekerja dari rumah, kegiatan ibadah komunal pun ditiadakan hingga waktu yang belum kita ketahui secara pasti.

Larangan bepergian dan berkumpul berdampak langsung dan nyata pula pada kehidupan seni di Indonesia. Sebab, hampir semua kegiatan seni dalam tahap produksi maupun eksibisi membutuhkan interaksi dengan banyak orang. Proses kreatif seniman terganggu, inspirasi terancam terhambat karena wajib tinggal di rumah, sementara pembatalan dan penundaan acara seni pun makin banyak terjadi.

Dalam sektor musik, misalnya, sederet konser dibatalkan atau ditunda hingga entah kapan. Pedangdut Ayu Ting Ting tak jadi konser di Jakarta, begitu pula Ras Muhamad dan Sandy Sandhoro. Anji gagal manggung di Ambon, sedangkan Dewa 19 mengurungkan tur di Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar. Sejumlah festival musik dengan musisi lokal dan mancanegara pun ambyar, seperti Heads in the Cloud dan Hammersonic di Jakarta, Lalala Festival di Bandung, serta We Are Connected di Bali.

Skena film tak kalah terguncang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup sementara semua bioskop selama dua pekan hingga 5 April 2020. Banyak film harus ditunda rilisnya, antara lain KKN Desa Penari, Guru-Guru Gokil, Tersanjung, Melankolia, dan Djoerig Salawe. Adapun beberapa film yang masih dalam proses produksi harus menghentikan pengambilan gambar, seperti The Doll 3, Yowis Ben 3, dan Backstage.

Sementara itu, pembatalan dan penundaan juga terjadi untuk berbagai acara seni pertunjukan. Mulai dari Sampek Engtay Teater Koma, drama musikal Inggit Garnasih yang digagas Happy Salma, pertunjukan pantomim Septian Dwi Cahyo, pagelaran Solo Menari 24 Jam, pentas tari Inside Out Salihara, hingga pertunjukan Tari Kecak Sanggar Tari dan Tabuh Karang Boma di Pura Uluwatu, Bali.

Pegiat seni rupa harus gigit jari pula karena pameran gagal terselenggara, seperti Man x Universe  oleh Srihadi Soedarsono dan Arts Moments Jakarta 2020. Museum seni rupa pun tutup sementara, seperti yang diputuskan Museum Ciputra Artpreneur dan Museum MACAN.

Bisa dibayangkan, betapa besar kerugian akibat berhentinya berbagai kegiatan seni tersebut. Dari sisi finansial, setidaknya para seniman dan pekerja seni lainnya — kru panggung, penata cahaya, penata suara, kurator, dan sebagainya — kehilangan sumber pendapatan mereka. Promotor pertunjukan musik, produser film, pengusaha bioskop, serta pengelola ruang pertunjukan juga mengalami nasib serupa.

Berbagai siasat untuk menghadapi situasi pun bermunculan. Musik, tari, teater, dan seni pertunjukan lainnya mulai disiarkan melalui internet. Karya musik, film, dan seni visual lainnya makin banyak diunggah dan dijual melalui platform daring Spotify, Netflix, iTunes, dan Karyakarsa. Karya dan cinderamata seniman dijajakan lewat toko daring, baik di media sosial mereka maupun kanal jual-beli semisal Tokopedia, BukaLapak, dan Shopee. Sedangkan lokakarya dan diskusi seni ikut pindah ke internet, difasilitasi aplikasi Google Meet, Zoom, dan Instagram.

Namun, itu saja tentu tidak cukup. Bagaimana dengan nasib para pekerja seni seperti kru panggung, penata cahaya, dan preparator pameran yang sulit memindahkan pekerjaannya ke internet akibat kewajiban menjaga jarak sosial? Para pembuat kebijakan, baik negara maupun swasta, perlu mengintervensi untuk menjamin keberlangsungan seni dalam menghadapi pandemi ini. Kita bisa belajar dari kebijakan di beberapa negara berikut.

Kebijakan seni beberapa negara semasa pandemi
Pemerintah dan swasta di Amerika Serikat bahu-membahu mendukung seniman dan organisasi seni mengatasi seretnya pemasukan akibat COVID-19. Pemerintah Negara Bagian Seattle menyiapkan dana sebesar US$1,1 juta, terdiri dari US$100 ribu sebagai bantuan langsung untuk seniman dan pekerja seni yang kehilangan pendapatan, serta US$1 juta bagi keberlangsungan organisasi seni selama krisis. Pemerintah Boston bakal memberikan dana bantuan bagi seniman yang kehilangan pendapatan sebesar US$500-1.000 bagi setiap pemohon. The Recording Academy, penyelenggara Grammy Awards, mengumpulkan US$2 juta untuk membantu musisi terdampak. Netflix mengalokasikan US$100 juta untuk membantu pekerja seni serta US$15 juta untuk lembaga nirlaba penyalur dana bantuan bagi aktor dan kru film di negara tersebut.

Di Inggris, Art Council England mengalokasikan sebagian dana programnya untuk membantu seniman dan pekerja seni. Pemerintah Inggris berencana memberikan paket bantuan sebesar hingga £25 ribu bagi unit usaha di bidang seni, seperti bioskop dan ruang pertunjukan musik, agar dapat mengurangi kerugian finansial selama pandemi.

Pemerintah Negara Bagian Queensland di Australia menganggarkan Aus$8 juta guna membantu seniman dan organisasi seni berskala kecil hingga menengah. Dana ini digunakan sebagai pengganti pendapatan yang hilang akibat berhentinya kegiatan seni di Australia. Queensland juga meniadakan tagihan bagi para penyewa fasilitas seni milik pemerintah hingga Desember 2020.

Beralih ke Cina, Pemerintah Hong Kong mengalokasikan HK$150 juta dari Dana Penanggulangan Epidemi untuk memitigasi dampak finansial pembatalan acara seni, termasuk bantuan bagi staf temporer yang kehilangan penghasilan. Sebagian dari dana ini, yakni HK$50 juta, disalurkan melalui Hong Kong Arts Development Council (HKADC).

Di negara tetangga, Pemerintah Singapura menyiapkan Sin$1,6 juta untuk dua program bantuan bagi kegiatan seniman dan organisasi seni. Program pertama mendanai peningkatan kapasitas bagi seniman dan organisasi seni. Dikelola oleh National Arts Council, program ini menyalurkan hingga Sin$600 untuk seniman individual, Sin$3.000 bagi organisasi seni kecil dan menengah, serta Sin$10.000 kepada organisasi seni besar. Program kedua adalah subsidi 30 persen untuk biaya sewa ruang pertunjukan dan ruang pameran yang dimiliki Pemerintah Singapura, seperti The Esplanade, National Gallery Singapore, The Arts House, serta Victoria Theatre and Concert Hall.

Saran untuk Indonesia
Apa yang Indonesia bisa lakukan untuk membantu seniman dan para pekerja seninya bertahan?

Idealnya, pemerintah dan swasta memberikan bantuan dana pengganti pendapatan yang hilang bagi seluruh seniman terdampak COVID-19. Namun, jika sulit untuk dilakukan dalam waktu dekat, ada beberapa alternatif kebijakan untuk mengurangi beban seniman dan organisasi seni di Indonesia dalam menghadapi masa sulit ini.

Pertama, memudahkan seniman agar tetap dapat memproduksi karya. Ini dapat dilakukan dengan memastikan infrastruktur digital dalam kondisi prima agar seniman dapat bekerja secara daring, serta memudahkan seniman mengakses ruang pertunjukan milik pemerintah maupun swasta untuk kebutuhan produksi (misal, pertunjukan tanpa penonton untuk disiarkan secara daring). Agar seniman dapat bekerja di rumah, akses bahan baku produksi karya pun perlu dipermudah. Contohnya, produsen dan toko cat lukis, kanvas, tanah liat, benang, atau bahan baku lainnya bisa memberi diskon harga maupun subsidi ongkos kirim.

Kedua, memudahkan masyarakat untuk dapat mengakses karya seni. Caranya, dengan memastikan infrastruktur digital dalam kondisi prima dan terjangkau agar masyarakat dapat menikmati karya seni melalui internet. Pemerintah juga dapat menangguhkan atau mengurangi pajak seperti Pajak Hiburan dan Pajak Pertambahan Nilai bagi transaksi karya seni, agar daya beli masyarakat terjaga.

Ketiga, menekan kerugian yang harus ditanggung seniman akibat pembatalan dan penundaan kegiatan seni. Pemerintah maupun swasta dapat menangguhkan atau mengurangi biaya sewa bagi kegiatan seni yang dibatalkan atau ditunda di infrastruktur miliknya, serta tidak membatalkan pembayaran program seni yang telah dipersiapkan. Pemerintah bisa juga memberikan insentif pajak dan retribusi bagi usaha di bidang seni yang terdampak wabah COVID-19.

Tentu saja, penggunaan sumber daya Indonesia saat ini harus difokuskan untuk memitigasi dampak penyebaran virus COVID-19, memperluas akses pelayanan kesehatan, dan menyediakan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, kita perlu sadar banyak pihak menempatkan seni sebagai kebutuhan sekunder, bahkan tersier, sehingga kepedulian terhadap keberlangsungan seni cenderung kecil ketika dihadapkan pada krisis seperti sekarang. Padahal, seni berperan besar menumbuhkan dan memelihara kelentingan alias resiliensi masyarakat saat menghadapi krisis. Artinya, bantuan untuk seni akan membantu masyarakat bertahan di tengah pandemi, sehingga turut mengurangi beban di pundak pihak lain.

Maka, kita perlu langkah nyata pemerintah dan swasta untuk menerapkan kebijakan yang meringankan beban seniman dan pekerja seni dalam mempertahankan denyut nadi seni di Indonesia — dan juga denyut nadi mereka sendiri.

Baca juga:

Ilustrasi: Rahman Seblat

Tulisan Terbaru
Komentar
pingbacks / trackbacks
  • […] Teater – Beberapa bulan terakhir adalah masa berat bagi seluruh umat manusia, termasuk para seniman dan pekerja seni. Virus Corona (Covid-19) telah menewaskan belasan ribu orang dan menginfeksi ratusan ribu […]

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.