Graphic recording karya Rahman Seblat.
Pandemi, kehilangan, dan kedukaan jadi santapan yang kini akrab untuk kebanyakan orang. Kabar kematian dari orang terdekat muncul tanpa jeda, masa berkabung seakan tiada. Sebagai upaya saling menguatkan dan mengurai beragam cerita kehilangan, Koalisi Seni mengadakan sesi kumpul anggota bertajuk “Bagaimana Cara Menghadapi Duka dan Kehilangan?” pada Kamis sore, 16 September 2021.
Adjie Santosoputro, praktisi emotional healing dan mindfulness, memandu acara yang dihadiri sekitar 30 orang tersebut. Pertemuan itu jadi kesempatan saling memahami duka kehilangan kala pandemi maupun yang telah mengendap bertahun-tahun.
Mengawali agenda sore itu, Adjie mengajak hadirin memahami peristiwa kehilangan dan bagaimana itu terjadi. “Kita pasti pernah mengalami kehilangan, entah barang, hewan peliharaan, ataupun orang yang kita kenal,” ujarnya.
Dengan merefleksikan pengalamannya saat kesal kehilangan kaos kesayangan, ia menekankan, “Kehilangan adalah hal wajar dalam hidup, memang sering menumbuhkan rasa sedih dan marah. Itu tidak keliru. Kita hanya perlu memberinya ruang.”
Sedari kecil, anak biasanya diajarkan untuk menolak dan memusuhi rasa sedih akibat kehilangan. Kita dituntut untuk selalu bahagia, kuat, dan tegar. Pada laki-laki, sikap ini membuatnya terjerembab dalam kolam beracun yang disebut toxic masculinity. Toxic masculinity atau maskulinitas beracun muncul sebagai dampak hegemoni maskulinitas yang dapat menumbuhkan dominasi terhadap orang lain (Kupers, 2005).
Bentuk maskulinitas beracun itu antara lain penanaman nilai sejak kecil yang melarang laki-laki menangis. Jika menangis, lelaki dilabeli cengeng dan lemah. “Hal semacam inilah yang kemudian membangun benteng besar ketika mengekspresikan perasaan. Kita cenderung bingung bagaimana cara menyalurkannya,” tutur Adjie menawarkan pemahaman.
Pengalaman-pengalaman personal juga banyak muncul dari para peserta. Ada yang bercerita soal kehilangan orang tua, bertanya apakah upayanya sudah tepat dalam menghadapi kehilangan, dan berbagi tentang rasa duka ditinggal darah daging sendiri. Menanggapi aneka pengalaman tersebut, Adjie menjelaskan lima tahap pulih dari duka yang dikutipnya dari Kubler Ross. Lima tahapan itu adalah denial (penolakan), anger (kemarahan), bargaining (penawaran), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan) yang dilalui secara berurutan.
Otak diciptakan sedemikian rupa untuk mengingat dan menyimpan ingatan, termasuk rasa sedih. Ke mana pun diri pergi, rasa sedih akan selalu tahu tempat ego bersembunyi. Oleh karenanya, kita perlu mengenali ego yang selama ini tidak pernah atau jarang ditemui. Ketika ingatan terkait rasa sedih muncul, ego dapat membiarkan diri menemui rasa sedih dengan ramah. Jangan melawan rasa sedih ataupun terhanyut oleh arus kesedihan.
Setiap ekspresi sedih adalah normal. Namun, jika mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, ini sinyal kita membutuhkan pertolongan profesional, baik psikolog maupun psikiater. “Masalah akan muncul dan menjadi semakin besar bila terus berusaha untuk melenyapkan ingatan tersebut,” ucap Adjie.
Sesi berbagi tersebut ditutup kala maghrib menjelang. Meminjam konsep Rumi, Adjie menjabarkan kehilangan muncul karena adanya rasa memiliki yang kemudian bersinggungan kuat dengan ego. Makin besar ego, makin besar pula rasa memiliki dan kehilangan.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan rasa takjubnya menyaksikan pertunjukan tari. Penari profesional tidak memikirkan ke-aku-annya. Mereka lebih memikirkan tariannya sebagai persembahan yang indah. Begitulah cara Adjie memahami peristiwa kehilangan dalam hidup. Setiap orang memiliki kapasitas berbeda dalam mencerna kesedihan. Segala bentuk kehilangan tetaplah kehilangan, entah kehilangan barang, hewan kesayangan, bahkan orang yang dikenal dekat. Apapun bentuknya, kehilangan yang dialami seseorang tidak dapat dibandingkan dengan kehilangan lainnya. Begitu pula tiap orang dengan “tariannya” sendiri yang membuat semesta jadi lebih menarik.
Kehilangan juga bagian dari seni. Tidak boleh meremehkannya dalam wujud apapun. Sebagaimana yang terlihat tegar, bisa saja dalamnya ambyar. (Diva Oktaviana)