/   Kabar Seni

Upaya pemajuan kesenian di Indonesia bisa dikatakan tersendat. Sejumlah regulasi seperti Undang-Undang (UU) Perfilman, UU Pornografi, maupun UU Informasi dan Transaksi Elektronik, masih menjadi batu sandungan yang menghambat pekerja seni berkarya. Kolaborasi beragam pihak diperlukan untuk “mengusik” pembuat kebijakan agar memperbaiki kebijakannya.

Ini disampaikan Koordinator Peneliti Koalisi Seni, Ratri Ninditya, dalam diskusi Temu Komunitas dalam rangkaian acara Policy Fest pada Minggu, 12 Desember 2021.

Pekerja seni menyadari hal ini dan kian gemar menyuarakan kegelisahan mereka dalam rupa karya. Sayang, aktivitas tersebut masih berdiri sendiri dan belum dibarengi upaya untuk memperbaiki ekosistem seni.

Selain perkara kebijakan, Ratri menyampaikan hasil riset Koalisi Seni yang merekam 45 pelanggaran kebebasan berkesenian selama 2010-2020. Sebagian besar di antaranya dilakukan oleh aparat. Angka tersebut dianggap Ratri sebagai puncak dari gunung es.

Saat ini, Indonesia belum memiliki mekanisme pemantauan sistematis terhadap pelanggaran kebebasan berkesenian. Jumlah yang terekam dalam riset tersebut, kata dia, masih termasuk dalam pelanggaran HAM umum, yakni kebebasan berekspresi. “Padahal ada juga hak untuk mendapatkan upah, hak untuk berserikat, hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan,” ujar dia.

Persoalan bertambah pelik bagi pekerja seni perempuan. Ratri menganggap mereka menghadapi persoalan ketimpangan gender dan invisibilitas yang berganda dari beragam persoalan: pemenuhan hak pekerja, tekanan emosional, dan kerja reproduktif.

Beragam masalah itu turut melatari lahirnya Koalisi Seni pada 2010. Melalui riset dan kelas-kelas advokasi bagi pekerja seni yang terbuka untuk publik, Koalisi dapat menjadi ruang bersama para seniman untuk mengadvokasi kebijakan guna perbaikan ekosistem seni di tanah air.

Senada dengan Ratri, vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud turut menekankan pentingnya kontribusi seniman dalam penyusunan kebijakan. “Pemusik sebagai warga negara, mereka punya tanggung jawab moral agar dalam sistem ini mereka bisa berkontribusi,” kata Cholil.

Cholil yang juga anggota Dewan Kesenian Jakarta ini menceritakan pengalamannya menggalang dukungan publik untuk menggagalkan Rancangan UU Permusikan. Aksi tersebut berawal dari keresahan Cholil setelah membaca draf RUU dan juga naskah akademik. Isinya dianggap berpotensi menghambat kebebasan kerja-kerja terkait musik di Indonesia.

Cholil bercerita, dirinya bersama beragam simpul masyarakat harus melalui banyak proses yang berada di luar pekerjaannya sebagai seniman. Mulai dari berkampanye di media sosial, diskusi-diskusi publik, hingga beraudiensi dengan Badan Legislasi DPR. Akhirnya, berkat koordinasi yang apik dengan seniman lain dan organisasi masyarakat sipil, RUU tersebut berhasil dibatalkan.

Guna membangun ekosistem kesenian yang kritis, kata Cholil, mesti ada pekerja seni yang belajar menciptakan karya-karya yang memantik percakapan. “Kita harus tahu, terlibat. Minimal mengkritisi kebijakan yang akan mengikat kita,” ujarnya.

Pemusik yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Seniman Riau, Aristofani Fahmi, menyepakati bahwa kerja-kerja kesenian bukan cuma urusan panggung semata. Bahkan, menurut pria yang akrab disapa Itok itu, aktivisme di bidang seni juga mengasyikkan. “Karena ada sesuatu yang kita perjuangkan,” kata dia.

Menurut Itok, masih banyak pekerjaan rumah terkait kebijakan kesenian yang mesti diselesaikan. Karena itu, seniman mesti lebih berani untuk hadir di ruang publik guna memperjuangkan kepentingannya. (Moyang Kasih Dewi Merdeka)

Ilustrasi: Comstock via Canva

 

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.

5 Perempuan Pemagang